Selasa, 16 Juni 2009

MEMPERSIAPKAN GENERASI DI ABAD 21

REFORMASI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN:
Mempersiapkan Generasi di Abad 21


Oleh:
Cak Baskoro

Perubahan dunia seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya mempunyai dampak positif dan negatif bagi suatu bangsa yang sudah ‘kabur’ batas ‘kewilayahannya’. Perekonomian dunia mengalami perubahan ultra-revolusioner. Kini orang sibuk dengan berbagai jenis “e-commerce’, bisnis tidak lagi diselenggarakan secara perseorangan dengan batas negara, pekerja berupah rendah (muscle) digantikan dengan otomatisasi tekhnologi dan mesin-mesin ‘pemikir’. Terkait dengan hal tersebut “apa yang harus dilakukan oleh institusi pendidikan dalam merubah dirinya untuk mempersiapkan trend perubahan zaman tersebut?”


PENGANTAR

Berbagai perubahan ‘dunia’ yang sangat luar biasa dan terus muncul mengiringi setiap langkah perubahan pada abad 21 ini. ‘Horison’ dunia semakin meluas seiring dengan ‘menyusutnya’ dunia, tak ada lagi pembatas sekat negara satu dengan negara yang lain, tidak ada sekat antara komunitas satu dengan yang lain. Dunia telah berubah menjadi sebuah desa kecil yang mengglobal (global vilage). Keadaan ini disebabakan berkembangnya tekhnologi informasi, jaringan dan internet. Bahkan saat ini bukanlah sesuatu yang sangat luar bisa jika beberapa pekerjaan tidak memerlukan kehadiran fisik seseorang dalam suatu pekerjaan melalui tekhnologi ‘teleconference’ .

Barangkali Ivin Tofller benar dalam membagi evolusi sejarah peradaban dunia dalam tiga gelombang, yaitu 1) era pertanian, 2) era industri, dan 3) era informasi. Pada era pertanian faktor yang menonjol agar tetap survive adalah muscle (otot) karena pada saat itu produktivitas ditentukan oleh otot. Dalam era industri faktor yang menonjol adalah mesin (machine), pekerjaan ‘otot’ mulai digantikan dengan pekerjaan mesin karena terbukti lebih efektif dan efisien. Gelombang ketiga peradaban dunia adalah era informasi, faktor yang menonjol dalam era ini adalah pikiran dan pengetahuan (mind). Informasi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kemajuan individu dan organisasi. Namun apakah benar informasi sedemikian pentingnya? Jawaban singkat adalah ya. Sebuah contoh sederhana untuk mengilustrasikan hal ini, jika kita mengetahui bahwa besok nilai tukar rupiah akan jatuh dengan drastis, maka kita akan bergegas ke bank untuk menukarkan rupiah kita dengan dollar. Demikian pula jika kita mengetahui bahwa akan terjadi sebuah demonstrasi di daerah tertentu, maka kita akan menghindari daerah tersebut. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa informasi telah menjadi komoditas yang berharga. Terkait dengan hal tersebut dalam lingkungan yang sangat cepat berubah, informasi (pengetahuan) akan cepat sekali mengalami keusangan oleh sebab itu perlu terus menerus untuk diperbarui melalui proses belajar.
Perubahan dunia seperti yang telah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya mempunyai akses (dampak) positif dan negatif bagi suatu bangsa yang sudah ‘kabur’ batas ‘kewilayahannya’. Perekonomian dunia mengalami perubahan yang luar biasa revolusioner. Kini orang sibuk dengan berbagai jenis “e-commerce’, bisnis tidak lagi diselenggarakan secara perseorangan dengan batas negara, pekerja berupah rendah (muscle) akan digantikan dengan otomatisasi tekhnologi dan mesin-mesin ‘pemikir’. Keadaan ini bagi suatu bangsa dapat dipandang sebagai ancaman atau sebuah peluang. Negara yang berhasil menyiapkan seluruh elemen bangsanya menghadapi perubahan besar tersebut diramalkan akan bisa survive di abad informasi ini.

Berbicara soal penyiapan elemen bangsa untuk mengahadapi sebuah perubahan zaman di masa sekarang dan masa depan, tidak akan pernah lepas dari konsep pendidikan, terkait dengan hal tersebut “apa yang telah dilakukan oleh insttitusi pendidikan dalam merubah dirinya untuk mempersiapkan trend perubahan zaman seperti di atas?”, “ apa yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan dalam mempersiapkan dan mencetak pekerja pada era teknologi informasi ini?’. Permasalahan menarik lainnya terkait dengan hal ini adalah ancaman akses dari perkembangan informasi adalah tergerusnya ‘identitas/karakter bangsa’. Bagaimanapun harus kita sadari bahwa salah satu tujuan idealis pendidikan bukan hanya sekedar menyiapkan generasi pekerja di masa yang akan dating namun juga melestarikan identitas/karakter bangsa.

Tulisan ini akan membahas, apa yang seharusnya dilakukan oleh institusi pendidikan dan pengambil kebijakan pendidikan dalam menghadapi permasalahan tersebut. Tulisan saya kali ini, sebenarnya lebih tepat disebut sebuah telaah pustaka, Karena ide-ide dalam tulisan ini 85% bersumber dari rujukan-rujukan pustaka yang sengaja saya kumpulkan dan sebagian kecil sisanya pendapat-pendapat pribadi saya (Saya tidak tahu beberapa hari ini saya sangat tertarik dengan tema-tema pendidikan futuristik, dan hasil ketertarikan tersebut saya sharingkan dengan sampean dalam tulisan ini) Beberapa pustaka dimaksud antara lain, Tilaar (2002) ‘membenahi pendidikan nasional’. Dalam buku tesebut, Tilaar berangkat dari sudut pandang ‘revolusi ekonomi’ dunia akibat perkembangan teknologi informasi yang diangkat dari konfrensi ASEM. Titik ‘berangkat’ Beliau dari sudut pandang ini berimplikasi pada banyaknya gagasan-gagasan Beliau tentang usaha-usaha penyiapan pendidikan pada era pengetahuan berbasis ekonomi. Sementara itu, di sisi lain akses dari perkembangan informasi adalah tergerusnya identitas/karakter bangsa’ yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional, sedikit sekali disinggung.

Terkait dengan hal tersebut saya mencoba melengkapi dengan kajian lain terhadap akses negatif era informasi kaitannya dengan revolusi pendidikan indonesia. Di antaranya saya angkat pemikiran dari Brotosiswojo, B Suprapto mengenai pendidikan, ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan Djiwandono, J Soedjadi mengenai globalisasi dan pendidikan nilai. Gekbearth (1999) preparing 21 st Century worker: the link between computer based technology and future skill, Hood (1999) learning, techonology, and education reform in the knowledge era.

Harapan akhir dari tulisan ini adalah diperolehnya pengetahuan yang lebih komprehensif mengenai komponen-komponen apa saja yang diperlukan oleh pendidikan dalam menyiapkan elemen bangsa agar ‘toleran’ dan ‘survive’ dalam menghadapi perkembangan tekhnologi informasi tanpa harus kehilangan identitas asli kebangsaanya. Semoga bermanfaat...

KENYATAAN EKONOMI ABAD 21: SEBUAH PANDANGAN FUTURISTIK

Menurut banyak ahli ekonomi, kekuatan ekonomi dan produksi pada abad 21 banyak ditentukan oleh pengetahuan dan pelayanan (service) atau dikenal dengan knowledge based economy, atau dengan kata lain, jika pada abad 20 yang berkembang pesat adalah industri dan teknologi, namun pada abad 21 isyu utama bergeser pada pengetahuan. Di dalam ekonomi baru ini muncul bentuk sarana baru yang serba virtual seperti, virtual buletin board, kupon virtual, dan benda-benda virtual lain. Ekonomi baru adalah ekonomi 'molekular'. Korporasi besar terpecah-pecah digantikan dengan kelompok-kelompok individual yang merupakan basis dari aktivitas ekonomi baru. Ekonomi baru merupakan suatu ekonomi jaringan yang mengintegrasikan satuan-satuan yang bersama-sama membentuk suatu jaringan dalam upaya membangun kesejahteraan bersama. Terkait dengan hal ini kedudukan perantara menjadi tidak berfungsi lagi, karena karena hubungan antar produsen dan konsumen berlalu melalui jaringan digital. Sektor ekonomi yang dominan diciptakan oleh tiga industri yaitu, media baru yang merupakan produk dari komputasi, komunikasi dan content. Perusahaan hiburan, siaran radio-televisi serta percetakan akan menghilang dan digantikan oleh perusahaan yang mempunyai perangkat lunak, servis, dan produk yang berdasarkan komputer serta telekomunikasi digital.

Ekonomi baru adalah ekonomi berdasarkan informasi. Produk-produk baru akan akan saling bermunculan dan bersaing secara ketat karena inovasi. Kualitas produk akan semakin meningkat, semakin canggih dan semakin terjangkau. Gap antara produsen dan konsumen menjadi sangat kabur. Hal ini disebabkan karena konsumen didalam ’jalan raya’ informasi juga merupakan ’produser’, dengan melahirkan ide-ide baru dan menyampaikannya kepada produsen. Ekonomi baru yang berdasarkan ’kesegaran’ merupakan kunci pendorong kesuksesan aktivitas ekonomi. Informasi yang baru dapat segera diperoleh, begitu pula pilihan akan segera diputuskan secara cepat dan tepat. Ekonomi baru adalah ekonomi global. Hal ini telah kita rasakan, betapa dunia telah terbuka dengan perdangangan bebas serta kerjasama regional AFTA dan APEC tidak akan membatasi terjadinya arus perdangan maupun manusia di dalam kerjasama tersebut.Di dalam ekonomi baru tersebut, tentunya bukan tanpa masalah. Dunia yang terbuka, perdangan bebas, persaingan tentunya menimbulkan konflik. Masalah sosial akan muncul sehingga menjadi suatu trauma atau konflik. Negara-negara yang relatif lebih maju menguasaI teknologi akan mudah mengambil keuntungan dan bisa memeras negara-negara berkembang.

SERBUAN INFORMASI DAN PENGGERUSAN KARAKTER BANGSA

Arus globalisasi yang ditopang oleh teknologi informasi menyebabkan arus informasi begitu cepat dan tidak terbendung. Dan arus ini sebenarnya tidak hanya membawa pengetahuan tetapi juga nilai-nilai. Apakah nilai-nilai ini dapat bersifat negatif atau positif?, dapat diterima atau tidak dapat diterima?, akan bergantung pada nilai-nilai yang dihayati dalam suatu bangsa. Barangkali semakin berkembangnya kebiasaan menglobal dalam hal gaya hidup seperti pola berpakaian, kebiasaan makan, rekreasi tidak banyak merugikan. Namun demikian secara tidak langsung sebagian kebiasaan ini beriplikasi pada nilai moral. Misal kebiasaan konsumtif mengunjungi rumah makan fast food, dan yang lebih serius implikasi menyebarnya nilai-nilai materialisme, konsumerisme, hedonisme, jelas dapat merusak moral suatu bangsa.

Permasalahan ini menjadi perbincangan yang sangat menarik, karena informasi ini jelas tidak bisa kita bendung, kita tidak bisa melawan globalisasi. Bagaimanapun juga kita tidak dapat bersikap apriori menolak apa saja terhadap budaya barat yang serta merta kita nilai bertentang dengan budaya kita, sebagian nilai-nilai yang dibawanya juga bersifat positif. Sehingga jika perlu kita mengubah budaya kita, tidak semuanya harus sesuai dengan budaya bangsa yang tidak semuanya bersifat positif juga. Budaya dan kepribadian bersifat dinamis, tidak statis. Yang perlu kita siapkan adalah penanaman nilai untuk menangkis pengaruh nilai-nilai negatif yang masuk bersamaan dengan arus informasi

KUALITAS MANUSIA YANG DIBUTUHKAN DI ABAD 21

Kualitas manusia seperti apa yang bisa survive dalam mainstream perubahan di atas?. Secara umum dapat diidentifikasi ada tujuh keahlian yang harus dimiliki agar tetap survive di era pengetahuan yaitu, 1) Kemampuan berpikir kritis dan kemauan bekerja keras, 2) kreativitas, 3) Kolaborasi, 4) pemahaman antar budaya (cross cultural undestanding), 5) komunikasi, 6) mengoperasikan komputer, 7) career dan kemampuan belajar secara mandiri.
Manusia abad 21 harus mampu berpikir kritis dan kemauan kerja keras, mereka dituntut mampu mendefinisikan permasalahan kompleks yang tumpang tindih, tidak jelas domainnya; menggunakan keahlian dan perangkat yang tersedia baik manusia maupun elektronik untuk analisis dan riset; mendesain jenis tindakan dan solusi: mengatur implementasi solusi tersebut; menilai hasil; kemudian secara terus-menerus meningkatkan variasi solusi ketika kondisi berubah. Manusia pada abad 21 harus kreatif, mampu menciptakan solusi baru untuk permasalahan lama, menemukan prinsip baru dan penemuan baru, menciptakan cara baru untuk mengkomunikasikan gagasan baru, menemukan cara kreatif untuk mengatur proses kompleks. Manusia abad 21 harus mampu kerjasama kelompok untuk memecahkan masalah yang rumit atau untuk menciptakan perangkat kompleks, menghasilkan jasa, dan produk-produk.

Manusia abad 21 hidup di era informasi, dimana tidak ada sekat antar negera maka diperlukan kemampuan memahami budaya antar negara tanpa kehilangan akar budayanya sendiri (karakter kebangsaan). Sebagai suatu perluasan kerjasama kelompok, manusia abad 21 harus menjembatani perbedaan etnik, sosial, organisasi, politik, dan isi kultur pengetahuan dalam rangka melakukan pekerjaan mereka. Peningkatan multikultural masyarakat yang terus-menerus, pertumbuhan ekonomi global, peningkatan dunia teknik, dan model organisasi "jaringan", keterampilan lintas budaya tanpa kehilangan identitas asli ‘budayanya’’ akan menjadi semakin berharga.

Manusia abad 21 memerlukan kemampuan untuk berkomunikasi efektif di dalam berbagai media dengan berbagai pendengar. Dengan memberikan sejumlah pilihan komunikasi misalnya; laporan tercetak, dokumen elektronik, majalah artikel, e-article , buku, e-book, cetakan iklan, iklan TV, iklan jaringan, telepon, telepon sel, telepon internet, surat suara, telemarketing, fax, pager, web, e-mail, selebaran, simulasi, basis data, multimedia presentasi, slides, disket, tape, video, CD, DVD, radio, TV, TV jaringan, teleconferens. Dan yang menjadi keharusan manusia abad 21 semua orang harus mampu menguasai komputer dasar sampai kepada suatu tingkat yang lebih tinggi untuk kelancaran ‘digital’ dan mampu menggunakan berbagai perangkat (softwere) berbasis komputer untuk melaksanakan tugas hidup sehari-hari. Di abad 21 banyak pekerjaan dan permasalahan hiduo menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi, terkait dengan hal ini menjadi hal yang mustahil hanya mengandalkan pembelajaran di sekolah, manusia abad 21 dituntut menjadi pebelajar mandiri.

PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN YANG DIPERLUKAN MENGHADAPI ABAD 21

Tuntutan perubahan mindset manusia abad 21 yang telah disebutkan di atas menuntut pula suatu perubahan yang sangat besar dalam pendidikan nasional, yang kita ketahui pendidikan kita adalah warisan dari sistem pendidikan lama yang isinya menghafal fakta tanpa makna. Merubah sistem pendidikan indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Sistem pendidikan Indonesai merupakan salah satu sistem pendidikan terbesar didunia yang meliputi sekitar 30 juta peserta didik, 200 ribu lembaga pendidikan, dan 4 juta tenaga pendidik, tersebar dalam area yang hampir seluas benua Eropa. Namun perubahan ini merupakan sebuah keharusan jika kita tidak ingin terlindas oleh perubahan jaman global.

Terkait dengan hal ini Tilaar, menyarankan guna memperkuat pendidikan sains siswa perlu diperkuat dengan penguasaan matematika, karena matematika merupakan cara berpikir sains, selain itu perlu juga sekolah dilengkapi laboratorium sains yang memadai untuk menunjang pembelajaran. Hal yang lain adalah pendidikan kreativitas. Adanya informasi yang tidak terbatas memungkinkan seseorang untuk menciptkan hal baru, namun juga menyebabkan seseorang tenggelam dalam timbunan informasi yang membingungkan sehingga seseorang tidak dapat mengambil keputusan. Oleh sebab itu, salah satu sikap yang perlu dikembangkan dalam era ini adalah mengambangkan sikap kratifitas. Perlu juga dikembangkan pendidikan digital dimana setiap satuan pendidikan terkoneksi dalam jaringan digital untuk saling tukar informasi, dan lain-lain. Terkait dengan pendidikan tinggi, perguruan tinggi perlu meletakan hubungan partisipatif dengan dunia usaha dan lembaga-lembaga penelitian. Dimana selama ini hanya terkesan bersifat formal dan seremonial dan bahkan keduanya terkesan menjaga jarak dengan keangkuhanya masing-masing. Dan yang tidak kalah penting adalah pendidikan nilai sebagai pelestari ‘budaya’ bangsa.

Terkait dengan pembelajaran, tuntutan abad 21 menuntut perubahan reorientasi dalam pembelajaran yaitu dari; (1) menggeser paradigma pembelajaran dari ‘asumsi tersembunyi’ bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari ‘otak/pikiran’ guru ke ‘otak/pikiran’ siswa, menuju pembelajaran yang lebih ‘memberdayakan’ seluruh aspek kemampuan siswa. (2) menggeser paradigma pembelajaran dari berpusat pada guru (teacher centred learning) menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centred learning), self directed learning (belajar mandiri), dan pemahaman diri (metakognisi) karena pembelajaran ini dirasa lebih memberdayakan siswa dalam segala aspek. (3) menggeser dari belajar ‘menghafal’ konsep menuju belajar ‘menemukan’ dan ‘membangun’ (mengkonstruksi) sendiri konsep, yang terbukti mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir tingkat tinggi, kritis, kreatif dan terampil memecahkan masalah, (4) menggeser dari belajar individual klasikal menuju pembelajaran kelompok kooperatif yang tidak hanya mengajari ketrampilan berpikir saja namun juga mampu mengajari siswa ketrampilan-ketrampilan lainnya (keterampilan sosial).


Malang, 17 Juni 2009
Pukul 01:36 Wib (lepas tengah malam)
Salam,



Baskoro Adi Prayitno
FKIP UNS Surakarta
baskoro_ap@uns.ac.id
www.baskoro1.blogspot.com

Jumat, 12 Juni 2009

AKHIRNYA BENCANA ITU DATANG JUGA

AKHIRNYA BENCANA ITU DATANG JUGA
(Mengurai Sesuatu yang Terlupakan dari Perdebatan Perlu Tidaknya Unas Diulang di Bebarap Sekolah)



Oleh:
Cak Baskoro


Terlepas dari pro dan kontra mengenai permasalahan ini, ada satu hal yang menurut saya terlupakan atau sengaja dilupakan oleh kita, yaitu menjawab sebuah pertanyaan lanjutan “mengapa banyak siswa kita tidak lulus Unas?”. Barangkali pertanyaan tersebut sangat sederhana. Saking sederhananya pertanyaan tersebut seringkali memancing orang memberikan jawaban yang tak kalah lebih sederhana. Jawaban yang sederhana ini kemudian akan mengantarkan kita pada konstruksi solusi yang juga sederhana, tidak mendalam, cenderung lebih terorientasi pada usaha pemecahan masalah sesaat, dan tidak pernah menyentuh pada akar masalah.Jika hal ini yang terjadi, bersiap-siaplah bencana lebih besar segera menyusul.


Akhirnya bencana itu datang juga, betapa tidak ada sekitar 5000 siswa yang tersebar di 34 SMA dan 19 SMP seluruh nusantara tidak lulus ujian nasional (Jawa Pos 6/6/09), dan mereka saat ini sedang menunggu keputusan BSNP apakah mereka bisa mengikuti ujian ulang atau tidak (baca kasus satu sekolah SMA di ngawi, madiun, dan daerah lain tidak lulus unas). Di sisi lain banyak kalangan (termasuk perguruan tinggi) menolak tegas pelaksanaan ujian ulang untuk mereka. Terlepas dari pro dan kontra mengenai permasalahan ini, ada satu hal yang menurut saya terlupakan atau sengaja dilupakan oleh kita yaitu menjawab sebuah pertanyaan lanjutan “mengapa banyak siswa kita yang tidak lulus Unas?”. Barangkali pertanyaan tersebut terlihat sangat sederhana, namun sebenarnya mempunyai makna yang dalam. Saking sederhananya pertanyaan di atas seringkali memancing kita memberikan jawaban yang juga sederhana. Jawaban yang sederhana ini kemudian akan mengantarkan kita pada konstruksi solusi yang juga sederhana, tidak mendalam, dan cenderung terorientasi pada usaha pemecahan masalah sesaat, dan tidak pernah menyentuh pada akar masalah.
Terkait dengan hal di atas, mari kita lihat bersama apa yang diperdebatkan oleh kalangan yang mengaku ahli dalam bidang pendidikan atas tidak lulusnya 5000 siswa?, mereka meributkan perlu tidaknya ujian ulang bagi siswa, mereka meributkan kasus ini disebabkan oleh ketidak jujuran guru, sebuah pertanyaan lanjutan yang perlu dikembangkan terkait dengan hal ini “apa jaminan bahwa masalah ini tidak terulang di tahun-tahun mendatang?”. Kalau memang benar disebabkan ketidak jujuran guru, perlu dilanjutkan lagi dengan sebuah pertanyaan “mengapa guru tidak jujur?”. Saya sepakat bahwa nasib 5000 siswa korban kebijakan Unas diperhatikan, namun lebih dari itu diperlukan solusi untuk menjamin bahwa permasalahan ini tidak terulang di tahun mendatang.

Akar Masalah yang Tak Tersentuh Itu

Dalam tulisan saya sebelumnya (Ujian Nasional: Evaluasi yang Perlu di Evaluasi) dijelaskan bahwa kemunculan Unas tidak terlepas dari pengejewantahan paham ”semua dapat diukur” yang kemudian berkembang menjadi ”semua dapat distandarisasi”. Karena semua dapat distandarisasi (termasuk pendidikan) maka dalam pendidikan dipandang perlu dibuat standar secara nasional, yang kemudian kita kenal standar nasional pendidikan. Saat ini kita mengenal ada delapan standar nasional pendidikan yang dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), yaitu; 1) standar isi, 2) standar proses, 3) standar kompetensi lulusan, 4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pembiayaan, 7) standar pengelolaan, dan 8) standar penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan ini menjadi ’kendali mutu’ pendidikan nasional.


Sebagai sebuah ’patokan’ kendali mutu pendidikan nasional diperlukan evaluasi berkala ’ketercapaian’ salah satu alat evaluasi tersebut adalah Unas. Sebuah pertanyaan (terkait dengan evaluasi unas) ’jika dalam evaluasi tersebut diketahui bahwa sebagian besar siswa tidak mencapai standar yang ditetapkan, apa artinya?”, untuk menjawab pertanyaan ini, menurut saya tidak diperlukan Ijazah doktor atau profesor atau dengan kata lain akal sehat sederhana kita bisa menduga ”pasti dari delapan standar yang dibuat belum terpenuhi dengan baik” (tentu saja kalau kita setuju bahwa muara dari ke delapan standar di atas adalah kemampuan kognitif siswa). Sebuah pertanyaan lanjutan ”apa yang perlu kita pikirkan terkait dengan hal ini?” tentu saja pemenuhan ke delapan standar nasional di maksud untuk seluruh wilayah nasional Indonesia, kalau tidak kasus ini pasti akan terus terulang dari tahun ke tahun. Mempermasalahkan siswa yang tidak lulus unas perlu diulang atau tidak, menurut saya penting namun yang lebih penting adalah rekonstruksi solusi pemenuhan kedelapan standar tersebut merata secara nasional.


Unas Sebagai Penentu Kelulusan Siswa: Kebijakan yang Kebablasan

Dalam sebuah acara diskusi seminar tentang perlu tidaknya Unas, seorang rekan yang pro unas sebagai penentu kelulusan menunjukkan list negara-negara maju yang menyelenggarakan ujian nasional yang mirip dengan unas di Indonesia, termasuk dalam hal ini ’kiblat’ pendidikan nasional kita Amerika Serikat. Namun sesungguhnya ada yang terlupakan oleh rekan kita ini, hampir sebagian besar ujian nasional di negara-negara maju tidak digunakan sebagai ’hakim’ penentu kelulusan siswa secara nasional, penentu kelulusan sebagian besar ada ditangan sekolah.


Terkait dengan hal ini, sebenarnya saya ingin menyatakan bahwa di negara-negara maju, unas lebih ditempatkan sebagai usaha pemetaan kualitas pendidikan nasional. Peta kualitas pendidikan ini strategis bagi pemerintah untuk menyusun strategi pendidikan di tahun berikutnya, daerah mana yang perlu penanganan serius, daerah mana yang sudah memenuhi standar mutu nasional pendidikan. Dengan kata lain dengan diketahuinya peta kualitas pendidikan ini membantu pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan.


Ketika tujuan mulia Unas ini diterapkan secara kebablasan (salah satunya digunakan sebagai penentu kelulusan siswa) yang terjadi kemudian adalah bukan peta mutu pendidikan nasional yang valid yang diperoleh oleh pemerintah melainkan hanya peta mutu pendidikan nasional yang sulit untuk dipercaya oleh akal sehat. Bagaimana tidak?, tiap daerah, sekolah berlomba-lomba ingin membuktikan bahwa daerahnya ’bebas’ dari siswa yang tidak lulus unas. Di satu sisi ’semangat’ ini menurut saya sangat baik, namun seringkali semangat ini berubah menjadi sesuatu ’monster’ yang sangat menyeramkan bagi dunia pendidikan. Diss-orientasi pembelajaran dianggap sebagai sebuah hal yang wajar, tanpa merasa bersalah pejabat publik (walikota, gurbenur, bahkan guru) menyatakan ”untuk mendongkrak nilai Unas, siswa diwajibkan mengikuti bimbingan belajar”. Bimbingan belajar di maksud, realitanya sebenarnya adalah bimbingan tes. Siswa setiap hari berlatih menyelesaikan test yang diprediksi keluar waktu unas. Pembelajaran yang memiliki makna luhur ’dibonsai’ sekedar ”teaching for test” (baca tulisan saya tentang Unas: Evaluasi yang perlu di evaluasi) Sebagai seorang yang memilki background keilmuan pendidikan, saya merasa sangat prihatin. Kalau demikian sekolah sudah tidak diperlukan lagi, ganti saja semua dengan bimbingan tes. Orang yang masih waras pasti menyatakan ’tidak akan pernah unit gawat darurat menggantikan rumah sakit bukan?’.


Monster lain yang lebih menyeramkan terkait digunakannya unas sebagai penentu kelulusan siswa adalah munculnya ’budaya ketidak jujuran’ di kalangan guru, diknas dan semua yang terlibat dalam ”ke-unasan”. Saya berani menyatakan ini bukan hanya isapan jempol, banyak fakta-fakta yang tidak bisa dipungkiri terkait dengan hal ini, seperti laporan air mata guru, pengakuan kawan saya sebagai guru, pengakuan kawan saya sebagai pengawas idependen, dan jangan lupa saya beberapa kali terlibat dalam kepengawasan independen unas, jadi paling tidak saya sedikit tahu modus ’ketidak jujuran” dalam unas. Beberapa kasus ketidak jujuran ditangani oleh polisi.


Menurut saya penganganan kasus ketidak jujuran semacam ini, tidak pernah menyelasaikan masalah, buktinya tiap tahun selalu terulang dan modusnya semakin lebih canggih. Mengapa tidak pernah menyelesaikan masalah?, karena kelulusan siswa sampai 100% merupakan ’kehormatan’ sekolah bahkan daerah. Demi kehormatan semua harus dilakukan, tidak peduli benar atau salah.


Ajang pembuktian ’kehormatan’ sekolah dan daerah bebas dari siswa tidak lulus sekolah, yang harusnya di sikapi postif oleh sekolah dan pemerintah daerah dengan usaha-usaha peningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaran di sekolah melalui kegiatan pemenuhan ke delapan standar nasional pendidikan. Di reduksi dengan kepentingan sesaat yang dilandasi dengan logika yang sangat prakmatis ”yang penting siswa lulus unas” solusinya adalah menge-drill siswa dengan soal-soal yang setipe dengan unas dan atau ’membantu’ mengerjakan soal unas siswa. Menurut saya benar-benar mencemaskan, alih-alih mendapatkan peta mutu pendidikan nasional yang valid yang terjadi justru diperolehnya peta kecurangan dan peta ’matinya’ pendidikan nasional.


Malang, 13 Juni 2009
Sangat Prihatin,


Baskoro Adi Prayitno
FKIP UNS Surakarta
Dedicated to my Angels