Selasa, 16 Juni 2009

MEMPERSIAPKAN GENERASI DI ABAD 21

REFORMASI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN:
Mempersiapkan Generasi di Abad 21


Oleh:
Cak Baskoro

Perubahan dunia seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya mempunyai dampak positif dan negatif bagi suatu bangsa yang sudah ‘kabur’ batas ‘kewilayahannya’. Perekonomian dunia mengalami perubahan ultra-revolusioner. Kini orang sibuk dengan berbagai jenis “e-commerce’, bisnis tidak lagi diselenggarakan secara perseorangan dengan batas negara, pekerja berupah rendah (muscle) digantikan dengan otomatisasi tekhnologi dan mesin-mesin ‘pemikir’. Terkait dengan hal tersebut “apa yang harus dilakukan oleh institusi pendidikan dalam merubah dirinya untuk mempersiapkan trend perubahan zaman tersebut?”


PENGANTAR

Berbagai perubahan ‘dunia’ yang sangat luar biasa dan terus muncul mengiringi setiap langkah perubahan pada abad 21 ini. ‘Horison’ dunia semakin meluas seiring dengan ‘menyusutnya’ dunia, tak ada lagi pembatas sekat negara satu dengan negara yang lain, tidak ada sekat antara komunitas satu dengan yang lain. Dunia telah berubah menjadi sebuah desa kecil yang mengglobal (global vilage). Keadaan ini disebabakan berkembangnya tekhnologi informasi, jaringan dan internet. Bahkan saat ini bukanlah sesuatu yang sangat luar bisa jika beberapa pekerjaan tidak memerlukan kehadiran fisik seseorang dalam suatu pekerjaan melalui tekhnologi ‘teleconference’ .

Barangkali Ivin Tofller benar dalam membagi evolusi sejarah peradaban dunia dalam tiga gelombang, yaitu 1) era pertanian, 2) era industri, dan 3) era informasi. Pada era pertanian faktor yang menonjol agar tetap survive adalah muscle (otot) karena pada saat itu produktivitas ditentukan oleh otot. Dalam era industri faktor yang menonjol adalah mesin (machine), pekerjaan ‘otot’ mulai digantikan dengan pekerjaan mesin karena terbukti lebih efektif dan efisien. Gelombang ketiga peradaban dunia adalah era informasi, faktor yang menonjol dalam era ini adalah pikiran dan pengetahuan (mind). Informasi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kemajuan individu dan organisasi. Namun apakah benar informasi sedemikian pentingnya? Jawaban singkat adalah ya. Sebuah contoh sederhana untuk mengilustrasikan hal ini, jika kita mengetahui bahwa besok nilai tukar rupiah akan jatuh dengan drastis, maka kita akan bergegas ke bank untuk menukarkan rupiah kita dengan dollar. Demikian pula jika kita mengetahui bahwa akan terjadi sebuah demonstrasi di daerah tertentu, maka kita akan menghindari daerah tersebut. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa informasi telah menjadi komoditas yang berharga. Terkait dengan hal tersebut dalam lingkungan yang sangat cepat berubah, informasi (pengetahuan) akan cepat sekali mengalami keusangan oleh sebab itu perlu terus menerus untuk diperbarui melalui proses belajar.
Perubahan dunia seperti yang telah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya mempunyai akses (dampak) positif dan negatif bagi suatu bangsa yang sudah ‘kabur’ batas ‘kewilayahannya’. Perekonomian dunia mengalami perubahan yang luar biasa revolusioner. Kini orang sibuk dengan berbagai jenis “e-commerce’, bisnis tidak lagi diselenggarakan secara perseorangan dengan batas negara, pekerja berupah rendah (muscle) akan digantikan dengan otomatisasi tekhnologi dan mesin-mesin ‘pemikir’. Keadaan ini bagi suatu bangsa dapat dipandang sebagai ancaman atau sebuah peluang. Negara yang berhasil menyiapkan seluruh elemen bangsanya menghadapi perubahan besar tersebut diramalkan akan bisa survive di abad informasi ini.

Berbicara soal penyiapan elemen bangsa untuk mengahadapi sebuah perubahan zaman di masa sekarang dan masa depan, tidak akan pernah lepas dari konsep pendidikan, terkait dengan hal tersebut “apa yang telah dilakukan oleh insttitusi pendidikan dalam merubah dirinya untuk mempersiapkan trend perubahan zaman seperti di atas?”, “ apa yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan dalam mempersiapkan dan mencetak pekerja pada era teknologi informasi ini?’. Permasalahan menarik lainnya terkait dengan hal ini adalah ancaman akses dari perkembangan informasi adalah tergerusnya ‘identitas/karakter bangsa’. Bagaimanapun harus kita sadari bahwa salah satu tujuan idealis pendidikan bukan hanya sekedar menyiapkan generasi pekerja di masa yang akan dating namun juga melestarikan identitas/karakter bangsa.

Tulisan ini akan membahas, apa yang seharusnya dilakukan oleh institusi pendidikan dan pengambil kebijakan pendidikan dalam menghadapi permasalahan tersebut. Tulisan saya kali ini, sebenarnya lebih tepat disebut sebuah telaah pustaka, Karena ide-ide dalam tulisan ini 85% bersumber dari rujukan-rujukan pustaka yang sengaja saya kumpulkan dan sebagian kecil sisanya pendapat-pendapat pribadi saya (Saya tidak tahu beberapa hari ini saya sangat tertarik dengan tema-tema pendidikan futuristik, dan hasil ketertarikan tersebut saya sharingkan dengan sampean dalam tulisan ini) Beberapa pustaka dimaksud antara lain, Tilaar (2002) ‘membenahi pendidikan nasional’. Dalam buku tesebut, Tilaar berangkat dari sudut pandang ‘revolusi ekonomi’ dunia akibat perkembangan teknologi informasi yang diangkat dari konfrensi ASEM. Titik ‘berangkat’ Beliau dari sudut pandang ini berimplikasi pada banyaknya gagasan-gagasan Beliau tentang usaha-usaha penyiapan pendidikan pada era pengetahuan berbasis ekonomi. Sementara itu, di sisi lain akses dari perkembangan informasi adalah tergerusnya identitas/karakter bangsa’ yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional, sedikit sekali disinggung.

Terkait dengan hal tersebut saya mencoba melengkapi dengan kajian lain terhadap akses negatif era informasi kaitannya dengan revolusi pendidikan indonesia. Di antaranya saya angkat pemikiran dari Brotosiswojo, B Suprapto mengenai pendidikan, ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan Djiwandono, J Soedjadi mengenai globalisasi dan pendidikan nilai. Gekbearth (1999) preparing 21 st Century worker: the link between computer based technology and future skill, Hood (1999) learning, techonology, and education reform in the knowledge era.

Harapan akhir dari tulisan ini adalah diperolehnya pengetahuan yang lebih komprehensif mengenai komponen-komponen apa saja yang diperlukan oleh pendidikan dalam menyiapkan elemen bangsa agar ‘toleran’ dan ‘survive’ dalam menghadapi perkembangan tekhnologi informasi tanpa harus kehilangan identitas asli kebangsaanya. Semoga bermanfaat...

KENYATAAN EKONOMI ABAD 21: SEBUAH PANDANGAN FUTURISTIK

Menurut banyak ahli ekonomi, kekuatan ekonomi dan produksi pada abad 21 banyak ditentukan oleh pengetahuan dan pelayanan (service) atau dikenal dengan knowledge based economy, atau dengan kata lain, jika pada abad 20 yang berkembang pesat adalah industri dan teknologi, namun pada abad 21 isyu utama bergeser pada pengetahuan. Di dalam ekonomi baru ini muncul bentuk sarana baru yang serba virtual seperti, virtual buletin board, kupon virtual, dan benda-benda virtual lain. Ekonomi baru adalah ekonomi 'molekular'. Korporasi besar terpecah-pecah digantikan dengan kelompok-kelompok individual yang merupakan basis dari aktivitas ekonomi baru. Ekonomi baru merupakan suatu ekonomi jaringan yang mengintegrasikan satuan-satuan yang bersama-sama membentuk suatu jaringan dalam upaya membangun kesejahteraan bersama. Terkait dengan hal ini kedudukan perantara menjadi tidak berfungsi lagi, karena karena hubungan antar produsen dan konsumen berlalu melalui jaringan digital. Sektor ekonomi yang dominan diciptakan oleh tiga industri yaitu, media baru yang merupakan produk dari komputasi, komunikasi dan content. Perusahaan hiburan, siaran radio-televisi serta percetakan akan menghilang dan digantikan oleh perusahaan yang mempunyai perangkat lunak, servis, dan produk yang berdasarkan komputer serta telekomunikasi digital.

Ekonomi baru adalah ekonomi berdasarkan informasi. Produk-produk baru akan akan saling bermunculan dan bersaing secara ketat karena inovasi. Kualitas produk akan semakin meningkat, semakin canggih dan semakin terjangkau. Gap antara produsen dan konsumen menjadi sangat kabur. Hal ini disebabkan karena konsumen didalam ’jalan raya’ informasi juga merupakan ’produser’, dengan melahirkan ide-ide baru dan menyampaikannya kepada produsen. Ekonomi baru yang berdasarkan ’kesegaran’ merupakan kunci pendorong kesuksesan aktivitas ekonomi. Informasi yang baru dapat segera diperoleh, begitu pula pilihan akan segera diputuskan secara cepat dan tepat. Ekonomi baru adalah ekonomi global. Hal ini telah kita rasakan, betapa dunia telah terbuka dengan perdangangan bebas serta kerjasama regional AFTA dan APEC tidak akan membatasi terjadinya arus perdangan maupun manusia di dalam kerjasama tersebut.Di dalam ekonomi baru tersebut, tentunya bukan tanpa masalah. Dunia yang terbuka, perdangan bebas, persaingan tentunya menimbulkan konflik. Masalah sosial akan muncul sehingga menjadi suatu trauma atau konflik. Negara-negara yang relatif lebih maju menguasaI teknologi akan mudah mengambil keuntungan dan bisa memeras negara-negara berkembang.

SERBUAN INFORMASI DAN PENGGERUSAN KARAKTER BANGSA

Arus globalisasi yang ditopang oleh teknologi informasi menyebabkan arus informasi begitu cepat dan tidak terbendung. Dan arus ini sebenarnya tidak hanya membawa pengetahuan tetapi juga nilai-nilai. Apakah nilai-nilai ini dapat bersifat negatif atau positif?, dapat diterima atau tidak dapat diterima?, akan bergantung pada nilai-nilai yang dihayati dalam suatu bangsa. Barangkali semakin berkembangnya kebiasaan menglobal dalam hal gaya hidup seperti pola berpakaian, kebiasaan makan, rekreasi tidak banyak merugikan. Namun demikian secara tidak langsung sebagian kebiasaan ini beriplikasi pada nilai moral. Misal kebiasaan konsumtif mengunjungi rumah makan fast food, dan yang lebih serius implikasi menyebarnya nilai-nilai materialisme, konsumerisme, hedonisme, jelas dapat merusak moral suatu bangsa.

Permasalahan ini menjadi perbincangan yang sangat menarik, karena informasi ini jelas tidak bisa kita bendung, kita tidak bisa melawan globalisasi. Bagaimanapun juga kita tidak dapat bersikap apriori menolak apa saja terhadap budaya barat yang serta merta kita nilai bertentang dengan budaya kita, sebagian nilai-nilai yang dibawanya juga bersifat positif. Sehingga jika perlu kita mengubah budaya kita, tidak semuanya harus sesuai dengan budaya bangsa yang tidak semuanya bersifat positif juga. Budaya dan kepribadian bersifat dinamis, tidak statis. Yang perlu kita siapkan adalah penanaman nilai untuk menangkis pengaruh nilai-nilai negatif yang masuk bersamaan dengan arus informasi

KUALITAS MANUSIA YANG DIBUTUHKAN DI ABAD 21

Kualitas manusia seperti apa yang bisa survive dalam mainstream perubahan di atas?. Secara umum dapat diidentifikasi ada tujuh keahlian yang harus dimiliki agar tetap survive di era pengetahuan yaitu, 1) Kemampuan berpikir kritis dan kemauan bekerja keras, 2) kreativitas, 3) Kolaborasi, 4) pemahaman antar budaya (cross cultural undestanding), 5) komunikasi, 6) mengoperasikan komputer, 7) career dan kemampuan belajar secara mandiri.
Manusia abad 21 harus mampu berpikir kritis dan kemauan kerja keras, mereka dituntut mampu mendefinisikan permasalahan kompleks yang tumpang tindih, tidak jelas domainnya; menggunakan keahlian dan perangkat yang tersedia baik manusia maupun elektronik untuk analisis dan riset; mendesain jenis tindakan dan solusi: mengatur implementasi solusi tersebut; menilai hasil; kemudian secara terus-menerus meningkatkan variasi solusi ketika kondisi berubah. Manusia pada abad 21 harus kreatif, mampu menciptakan solusi baru untuk permasalahan lama, menemukan prinsip baru dan penemuan baru, menciptakan cara baru untuk mengkomunikasikan gagasan baru, menemukan cara kreatif untuk mengatur proses kompleks. Manusia abad 21 harus mampu kerjasama kelompok untuk memecahkan masalah yang rumit atau untuk menciptakan perangkat kompleks, menghasilkan jasa, dan produk-produk.

Manusia abad 21 hidup di era informasi, dimana tidak ada sekat antar negera maka diperlukan kemampuan memahami budaya antar negara tanpa kehilangan akar budayanya sendiri (karakter kebangsaan). Sebagai suatu perluasan kerjasama kelompok, manusia abad 21 harus menjembatani perbedaan etnik, sosial, organisasi, politik, dan isi kultur pengetahuan dalam rangka melakukan pekerjaan mereka. Peningkatan multikultural masyarakat yang terus-menerus, pertumbuhan ekonomi global, peningkatan dunia teknik, dan model organisasi "jaringan", keterampilan lintas budaya tanpa kehilangan identitas asli ‘budayanya’’ akan menjadi semakin berharga.

Manusia abad 21 memerlukan kemampuan untuk berkomunikasi efektif di dalam berbagai media dengan berbagai pendengar. Dengan memberikan sejumlah pilihan komunikasi misalnya; laporan tercetak, dokumen elektronik, majalah artikel, e-article , buku, e-book, cetakan iklan, iklan TV, iklan jaringan, telepon, telepon sel, telepon internet, surat suara, telemarketing, fax, pager, web, e-mail, selebaran, simulasi, basis data, multimedia presentasi, slides, disket, tape, video, CD, DVD, radio, TV, TV jaringan, teleconferens. Dan yang menjadi keharusan manusia abad 21 semua orang harus mampu menguasai komputer dasar sampai kepada suatu tingkat yang lebih tinggi untuk kelancaran ‘digital’ dan mampu menggunakan berbagai perangkat (softwere) berbasis komputer untuk melaksanakan tugas hidup sehari-hari. Di abad 21 banyak pekerjaan dan permasalahan hiduo menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi, terkait dengan hal ini menjadi hal yang mustahil hanya mengandalkan pembelajaran di sekolah, manusia abad 21 dituntut menjadi pebelajar mandiri.

PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN YANG DIPERLUKAN MENGHADAPI ABAD 21

Tuntutan perubahan mindset manusia abad 21 yang telah disebutkan di atas menuntut pula suatu perubahan yang sangat besar dalam pendidikan nasional, yang kita ketahui pendidikan kita adalah warisan dari sistem pendidikan lama yang isinya menghafal fakta tanpa makna. Merubah sistem pendidikan indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Sistem pendidikan Indonesai merupakan salah satu sistem pendidikan terbesar didunia yang meliputi sekitar 30 juta peserta didik, 200 ribu lembaga pendidikan, dan 4 juta tenaga pendidik, tersebar dalam area yang hampir seluas benua Eropa. Namun perubahan ini merupakan sebuah keharusan jika kita tidak ingin terlindas oleh perubahan jaman global.

Terkait dengan hal ini Tilaar, menyarankan guna memperkuat pendidikan sains siswa perlu diperkuat dengan penguasaan matematika, karena matematika merupakan cara berpikir sains, selain itu perlu juga sekolah dilengkapi laboratorium sains yang memadai untuk menunjang pembelajaran. Hal yang lain adalah pendidikan kreativitas. Adanya informasi yang tidak terbatas memungkinkan seseorang untuk menciptkan hal baru, namun juga menyebabkan seseorang tenggelam dalam timbunan informasi yang membingungkan sehingga seseorang tidak dapat mengambil keputusan. Oleh sebab itu, salah satu sikap yang perlu dikembangkan dalam era ini adalah mengambangkan sikap kratifitas. Perlu juga dikembangkan pendidikan digital dimana setiap satuan pendidikan terkoneksi dalam jaringan digital untuk saling tukar informasi, dan lain-lain. Terkait dengan pendidikan tinggi, perguruan tinggi perlu meletakan hubungan partisipatif dengan dunia usaha dan lembaga-lembaga penelitian. Dimana selama ini hanya terkesan bersifat formal dan seremonial dan bahkan keduanya terkesan menjaga jarak dengan keangkuhanya masing-masing. Dan yang tidak kalah penting adalah pendidikan nilai sebagai pelestari ‘budaya’ bangsa.

Terkait dengan pembelajaran, tuntutan abad 21 menuntut perubahan reorientasi dalam pembelajaran yaitu dari; (1) menggeser paradigma pembelajaran dari ‘asumsi tersembunyi’ bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari ‘otak/pikiran’ guru ke ‘otak/pikiran’ siswa, menuju pembelajaran yang lebih ‘memberdayakan’ seluruh aspek kemampuan siswa. (2) menggeser paradigma pembelajaran dari berpusat pada guru (teacher centred learning) menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centred learning), self directed learning (belajar mandiri), dan pemahaman diri (metakognisi) karena pembelajaran ini dirasa lebih memberdayakan siswa dalam segala aspek. (3) menggeser dari belajar ‘menghafal’ konsep menuju belajar ‘menemukan’ dan ‘membangun’ (mengkonstruksi) sendiri konsep, yang terbukti mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir tingkat tinggi, kritis, kreatif dan terampil memecahkan masalah, (4) menggeser dari belajar individual klasikal menuju pembelajaran kelompok kooperatif yang tidak hanya mengajari ketrampilan berpikir saja namun juga mampu mengajari siswa ketrampilan-ketrampilan lainnya (keterampilan sosial).


Malang, 17 Juni 2009
Pukul 01:36 Wib (lepas tengah malam)
Salam,



Baskoro Adi Prayitno
FKIP UNS Surakarta
baskoro_ap@uns.ac.id
www.baskoro1.blogspot.com

Jumat, 12 Juni 2009

AKHIRNYA BENCANA ITU DATANG JUGA

AKHIRNYA BENCANA ITU DATANG JUGA
(Mengurai Sesuatu yang Terlupakan dari Perdebatan Perlu Tidaknya Unas Diulang di Bebarap Sekolah)



Oleh:
Cak Baskoro


Terlepas dari pro dan kontra mengenai permasalahan ini, ada satu hal yang menurut saya terlupakan atau sengaja dilupakan oleh kita, yaitu menjawab sebuah pertanyaan lanjutan “mengapa banyak siswa kita tidak lulus Unas?”. Barangkali pertanyaan tersebut sangat sederhana. Saking sederhananya pertanyaan tersebut seringkali memancing orang memberikan jawaban yang tak kalah lebih sederhana. Jawaban yang sederhana ini kemudian akan mengantarkan kita pada konstruksi solusi yang juga sederhana, tidak mendalam, cenderung lebih terorientasi pada usaha pemecahan masalah sesaat, dan tidak pernah menyentuh pada akar masalah.Jika hal ini yang terjadi, bersiap-siaplah bencana lebih besar segera menyusul.


Akhirnya bencana itu datang juga, betapa tidak ada sekitar 5000 siswa yang tersebar di 34 SMA dan 19 SMP seluruh nusantara tidak lulus ujian nasional (Jawa Pos 6/6/09), dan mereka saat ini sedang menunggu keputusan BSNP apakah mereka bisa mengikuti ujian ulang atau tidak (baca kasus satu sekolah SMA di ngawi, madiun, dan daerah lain tidak lulus unas). Di sisi lain banyak kalangan (termasuk perguruan tinggi) menolak tegas pelaksanaan ujian ulang untuk mereka. Terlepas dari pro dan kontra mengenai permasalahan ini, ada satu hal yang menurut saya terlupakan atau sengaja dilupakan oleh kita yaitu menjawab sebuah pertanyaan lanjutan “mengapa banyak siswa kita yang tidak lulus Unas?”. Barangkali pertanyaan tersebut terlihat sangat sederhana, namun sebenarnya mempunyai makna yang dalam. Saking sederhananya pertanyaan di atas seringkali memancing kita memberikan jawaban yang juga sederhana. Jawaban yang sederhana ini kemudian akan mengantarkan kita pada konstruksi solusi yang juga sederhana, tidak mendalam, dan cenderung terorientasi pada usaha pemecahan masalah sesaat, dan tidak pernah menyentuh pada akar masalah.
Terkait dengan hal di atas, mari kita lihat bersama apa yang diperdebatkan oleh kalangan yang mengaku ahli dalam bidang pendidikan atas tidak lulusnya 5000 siswa?, mereka meributkan perlu tidaknya ujian ulang bagi siswa, mereka meributkan kasus ini disebabkan oleh ketidak jujuran guru, sebuah pertanyaan lanjutan yang perlu dikembangkan terkait dengan hal ini “apa jaminan bahwa masalah ini tidak terulang di tahun-tahun mendatang?”. Kalau memang benar disebabkan ketidak jujuran guru, perlu dilanjutkan lagi dengan sebuah pertanyaan “mengapa guru tidak jujur?”. Saya sepakat bahwa nasib 5000 siswa korban kebijakan Unas diperhatikan, namun lebih dari itu diperlukan solusi untuk menjamin bahwa permasalahan ini tidak terulang di tahun mendatang.

Akar Masalah yang Tak Tersentuh Itu

Dalam tulisan saya sebelumnya (Ujian Nasional: Evaluasi yang Perlu di Evaluasi) dijelaskan bahwa kemunculan Unas tidak terlepas dari pengejewantahan paham ”semua dapat diukur” yang kemudian berkembang menjadi ”semua dapat distandarisasi”. Karena semua dapat distandarisasi (termasuk pendidikan) maka dalam pendidikan dipandang perlu dibuat standar secara nasional, yang kemudian kita kenal standar nasional pendidikan. Saat ini kita mengenal ada delapan standar nasional pendidikan yang dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), yaitu; 1) standar isi, 2) standar proses, 3) standar kompetensi lulusan, 4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pembiayaan, 7) standar pengelolaan, dan 8) standar penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan ini menjadi ’kendali mutu’ pendidikan nasional.


Sebagai sebuah ’patokan’ kendali mutu pendidikan nasional diperlukan evaluasi berkala ’ketercapaian’ salah satu alat evaluasi tersebut adalah Unas. Sebuah pertanyaan (terkait dengan evaluasi unas) ’jika dalam evaluasi tersebut diketahui bahwa sebagian besar siswa tidak mencapai standar yang ditetapkan, apa artinya?”, untuk menjawab pertanyaan ini, menurut saya tidak diperlukan Ijazah doktor atau profesor atau dengan kata lain akal sehat sederhana kita bisa menduga ”pasti dari delapan standar yang dibuat belum terpenuhi dengan baik” (tentu saja kalau kita setuju bahwa muara dari ke delapan standar di atas adalah kemampuan kognitif siswa). Sebuah pertanyaan lanjutan ”apa yang perlu kita pikirkan terkait dengan hal ini?” tentu saja pemenuhan ke delapan standar nasional di maksud untuk seluruh wilayah nasional Indonesia, kalau tidak kasus ini pasti akan terus terulang dari tahun ke tahun. Mempermasalahkan siswa yang tidak lulus unas perlu diulang atau tidak, menurut saya penting namun yang lebih penting adalah rekonstruksi solusi pemenuhan kedelapan standar tersebut merata secara nasional.


Unas Sebagai Penentu Kelulusan Siswa: Kebijakan yang Kebablasan

Dalam sebuah acara diskusi seminar tentang perlu tidaknya Unas, seorang rekan yang pro unas sebagai penentu kelulusan menunjukkan list negara-negara maju yang menyelenggarakan ujian nasional yang mirip dengan unas di Indonesia, termasuk dalam hal ini ’kiblat’ pendidikan nasional kita Amerika Serikat. Namun sesungguhnya ada yang terlupakan oleh rekan kita ini, hampir sebagian besar ujian nasional di negara-negara maju tidak digunakan sebagai ’hakim’ penentu kelulusan siswa secara nasional, penentu kelulusan sebagian besar ada ditangan sekolah.


Terkait dengan hal ini, sebenarnya saya ingin menyatakan bahwa di negara-negara maju, unas lebih ditempatkan sebagai usaha pemetaan kualitas pendidikan nasional. Peta kualitas pendidikan ini strategis bagi pemerintah untuk menyusun strategi pendidikan di tahun berikutnya, daerah mana yang perlu penanganan serius, daerah mana yang sudah memenuhi standar mutu nasional pendidikan. Dengan kata lain dengan diketahuinya peta kualitas pendidikan ini membantu pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan.


Ketika tujuan mulia Unas ini diterapkan secara kebablasan (salah satunya digunakan sebagai penentu kelulusan siswa) yang terjadi kemudian adalah bukan peta mutu pendidikan nasional yang valid yang diperoleh oleh pemerintah melainkan hanya peta mutu pendidikan nasional yang sulit untuk dipercaya oleh akal sehat. Bagaimana tidak?, tiap daerah, sekolah berlomba-lomba ingin membuktikan bahwa daerahnya ’bebas’ dari siswa yang tidak lulus unas. Di satu sisi ’semangat’ ini menurut saya sangat baik, namun seringkali semangat ini berubah menjadi sesuatu ’monster’ yang sangat menyeramkan bagi dunia pendidikan. Diss-orientasi pembelajaran dianggap sebagai sebuah hal yang wajar, tanpa merasa bersalah pejabat publik (walikota, gurbenur, bahkan guru) menyatakan ”untuk mendongkrak nilai Unas, siswa diwajibkan mengikuti bimbingan belajar”. Bimbingan belajar di maksud, realitanya sebenarnya adalah bimbingan tes. Siswa setiap hari berlatih menyelesaikan test yang diprediksi keluar waktu unas. Pembelajaran yang memiliki makna luhur ’dibonsai’ sekedar ”teaching for test” (baca tulisan saya tentang Unas: Evaluasi yang perlu di evaluasi) Sebagai seorang yang memilki background keilmuan pendidikan, saya merasa sangat prihatin. Kalau demikian sekolah sudah tidak diperlukan lagi, ganti saja semua dengan bimbingan tes. Orang yang masih waras pasti menyatakan ’tidak akan pernah unit gawat darurat menggantikan rumah sakit bukan?’.


Monster lain yang lebih menyeramkan terkait digunakannya unas sebagai penentu kelulusan siswa adalah munculnya ’budaya ketidak jujuran’ di kalangan guru, diknas dan semua yang terlibat dalam ”ke-unasan”. Saya berani menyatakan ini bukan hanya isapan jempol, banyak fakta-fakta yang tidak bisa dipungkiri terkait dengan hal ini, seperti laporan air mata guru, pengakuan kawan saya sebagai guru, pengakuan kawan saya sebagai pengawas idependen, dan jangan lupa saya beberapa kali terlibat dalam kepengawasan independen unas, jadi paling tidak saya sedikit tahu modus ’ketidak jujuran” dalam unas. Beberapa kasus ketidak jujuran ditangani oleh polisi.


Menurut saya penganganan kasus ketidak jujuran semacam ini, tidak pernah menyelasaikan masalah, buktinya tiap tahun selalu terulang dan modusnya semakin lebih canggih. Mengapa tidak pernah menyelesaikan masalah?, karena kelulusan siswa sampai 100% merupakan ’kehormatan’ sekolah bahkan daerah. Demi kehormatan semua harus dilakukan, tidak peduli benar atau salah.


Ajang pembuktian ’kehormatan’ sekolah dan daerah bebas dari siswa tidak lulus sekolah, yang harusnya di sikapi postif oleh sekolah dan pemerintah daerah dengan usaha-usaha peningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaran di sekolah melalui kegiatan pemenuhan ke delapan standar nasional pendidikan. Di reduksi dengan kepentingan sesaat yang dilandasi dengan logika yang sangat prakmatis ”yang penting siswa lulus unas” solusinya adalah menge-drill siswa dengan soal-soal yang setipe dengan unas dan atau ’membantu’ mengerjakan soal unas siswa. Menurut saya benar-benar mencemaskan, alih-alih mendapatkan peta mutu pendidikan nasional yang valid yang terjadi justru diperolehnya peta kecurangan dan peta ’matinya’ pendidikan nasional.


Malang, 13 Juni 2009
Sangat Prihatin,


Baskoro Adi Prayitno
FKIP UNS Surakarta
Dedicated to my Angels


Senin, 25 Mei 2009

UJIAN NASIONAL : EVALUASI YANG PERLU DI EVALUASI

UJIAN NASIONAL (UN) :
EVALUASI YANG PERLU DIEVALUASI


Oleh:
Cak Baskoro


Mengurai efektifitas UN dari hulu sampai hilir, menyisakan berbagai permasalahan. Mulai dari aspek legalitas formal pelaksanaan UN sampai dengan akses pelaksanaan UN di lapangan. Permasalahan ini bermuara dari digunakannya UN sebagai 'hakim' penentu kelulusan peserta didik. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan re-evaluasi penggunaan UN sebagai 'penentu' kelulusan. Menurut pendapat saya penentu kelulusan perlu dikembalikan ke guru, karena sesungguhnya gurulah yang tahu tentang peserta didik. Sebuah logika yang sangat tidak logis jika pemerintah ingin memberdayakan guru, tetapi usaha yang dilakukan justru pengkebirian hak dan potensi guru.



SEBUAH PENGANTAR
Dahulu kala, ada seorang gadis kecil yang ceroboh bernama Little Red Ridding Hood. Suatu hari, ketika mengunjungi neneknya yang sedang sakit, Dia disambut oleh seekor serigala yang mengenakan baju malam neneknya. "Nek, alangkah besar matamu", ungkapnya sama sekali tidak tahu, sekalipun ia sudah ratusan kali menatap mata neneknya sebelumnya. "Nek, Alangkah besar dan panjang telingamu", sambungnya meskipun sebenarnya telinga neneknya tidak mungkin berubah sejak kunjungannya yang terakhir. "Nek, alangkah berat suaramu", ungkapnya lagi, masih tidak sadar bahwa yang ia hadapi adalah seekor serigala, bukan neneknya. Cerita ini, menceritakan tentang kecerobohan seorang anak kecil dalam menyimpulkan sesuatu karena terjebak pada fakta parsial (gaun malam neneknya) dan tidak melihat secara komprehensif (bahwa yang memakai gaun tersebut sebenarnya bukan neneknya melainkan seekor serigala yang siap memangsannya).

Cerita di atas, agaknya sangat relevan ketika kita berbicara tentang UN. Baru beberapa waktu lalu UN dilaksanakan, seperti tahun-tahun sebelumnya pemerintah mendapat hujan 'cacian' dari berbagai pihak, namun demikian pemerintah tidak bergeming sedikitpun "Anjing menggongong kafilah berlalu" dan bahkan seolah 'meledek' para pengkritiknya pemerintah malah menaikkan nilai standard kelulusan peserta UN. Melalui berbagai media massa, pemerintah melakukan pembelaan diri, beberapa argumen sempat terekam dalam catatan saya, diantaranya, ungkapan wakil Presiden JK dan Abu Rizal Bakri "anak harus dibiasakan kerja keras, jika diberi tantangan atau dituntut dengan dengan syarat kelulusan yang tinggi dan dinaikkan tiap tahun akan membuat anak menjadi belajar", " Mutu pendidikan meningkat dari tahun ketahun, hasil UN 2007/2008 lebih bagus dari tahun sebelumnya, padahal tuntutan angka standar kelulusan lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Argumen-argumen yang disampaikan oleh wakil pemerintah tadi, bila kita mau mencoba mencermati dengan sedikit lebih seksama, sebenarnya tidak dilandasi pengetahuan pedagogis yang baik (kalau tidak boleh dikatakan dilandasi pengetahuan pedagogik yang serampangan). Argumentasi itu mesti dikembangkan dengan sebuah pertanyaan lanjutan "anak-anak belajar dengan cara apa?" , yang terjadi sebenarnya bukanlah kegiatan belajar, tetapi drill soal yang melahirkan generasi 'pembeo', "bagaimanakah mungkin, angka dan jumlah lulusan dijadikan indikator mutu sebuah pendidikan?", jika hal ini yang dimaksud dengan mutu pendidikan oleh pemerintah, maka pendidikan kita dalam keadaan mengalami kemunduran besar-besaran sampai titik nadirnya. Mutu pendidikan hanya diukur dari kemahiran siswa menjawab soal-soal UN, yang kemudian sebenarnya mereka kembali menjadi bodoh, karena kemahiran tersebut diperoleh dari kegiatan 'menghafal' melalui drill latihan soal, bukan dari kegiatan pembelajaran yang bermakna. Ketidakmauan pemerintah saat ini untuk 'membuka' pintu diskusi terhadap argumen-argumen dari kubu yang bersebrangan dengan kubunya, suatu saat akan mengantarkan nasib yang sama dengan gadis kecil dalam cerita di atas. Ketika pemerintah mulai menyadari hal ini, semuanya sudah terlambat, karena pendidikan adalah investasi jangka panjang yang hasilnya baru akan dilihat pada masa mendatang.

Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengkaji dan mengurai efektifitas UN dilihat dari beberapa sudut pandang, kemudian berdasarkan kajian tersebut saya mencoba menyimpulkan 'apakah UN memang alat evaluasi yang layak atau UN sebenarnya alat evaluasi yang sebenarnya perlu dievaluasi lagi penggunaanya. Terkait dengan hal tersebut, saya mengorganisasikan urutan penulisan sebagai berikut; pada bagian awal, saya akan mencoba membahas tentang gambaran awal UN dan Standarisasi Pendidikan, gambaran awal tentang hal ini sangat diperlukan sebagai pengetahuan prasarat bagi kita memahami argumen-argumen selanjutnya dalam tulisan ini, karena sesungguhnya UN tidak dapat dipisahkan dengan konsep Standarisasi pendidikan. Pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang efektifitas UN dari berbagai sudut pandang, yang mencoba mengurai efektifitas UN mulai dari hilir (peraturan perundangan) sampai dengan hulu (akses implementasi UN di Lapangan). Pembahasan terakhir akan ditutup dengan pembahasan tentang 'apakah UN memang alat evaluasi yang perlu dievaluasi keefektifanya?", sekaligus alternatif solusi pengganti UN sebagai penentu kelulusan yang dapat dipertimbangkan dan dikaji. Organisasi penyajian tulisan yang demikian, diharapkan mampu memberikan kemudahan pada pembaca dalam mengikuti alur argumen-argumen dalam tulisan ini.

STANDARISASI PENDIDIKAN DAN UJIAN NASIONAL (UN)
Istilah standarisasi merupakan pengejawantahan dari paham 'segala sesuatu dapat diukur', karena segala sesuatu dapat diukur maka dapat diusahakan terjadinya efisiensi dan diketahui kualitas suatu benda atau suatu pelayanan (pendidikan salah satu yang termasuk di dalamnya). Standa nasional pendidikan idealnya diperlukan untuk pengukuran kualitas pendidikan secara nasional, pemetaan masalah pendidikan secara nasional, dan dapat dijadikan dasar dalam penyusunan dan pengembangan strategi pendidikan selanjutnya.

Menurut PP. No. 19 Tahun 2005 yang merupakan penjabaran dari UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, terdapat delapan standard pendidikan yang kewenangan penyusunannya diberikan ke lembaga independent yang disebut Badan Standard Nasional Penddikan (BSNP). Ke delapan standard tersebut adalah, 1) standard isi, 2) standard proses, 3) standard kompetensi lulusan, 4) standard pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pembiayaan, 7) standar pengelolaan, 8) standar penilaian pendidikan.

Terkait dengan hal di atas, standar adalah patokan yang menuntut secara berkala diketahui sampai dimana efektifitasnya. Untuk mengetahui hal tersebut diperlukan alat evaluasi nasional, salah satunya UN. Menurut Permen No. 77 tahun 2008 tentang UN SMA/MA, tujuan UN dimaksudkan untuk; 1) pemetaan mutu satuan/program pendidikan, 2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan lebih tinggi, 3) penentuan kelulusan perserta didik, 4) pembinaan dan pemberian bantuan pada program/satuan pendidikan. Penyelenggaraan UN diberikan wewenang ke BSNP.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa tujuan UN dimaksudkan untuk mengevaluasi efektifitas penyelengaraan standar pendidikan yang telah ditetapkan oleh BSNP. Pembahasan selanjutnya dibahas bagaimana efektifitas UN selama ini (sebenarnya) untuk mengevaluasi standar nasional pendidikan.

KE-EFEKTIFAN UN DIKAJI DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG
Mengkaji keefektifan UN, idealnya harus dimulai dari hilir sampai dengan hulu atau dengan kata lain kajian tersebut harus dimulai dari dasar legal formal sampai dengan akses aspek teknis implementasi UN di lapangan sebagai penentu kelulusan peserta didik. terkait dengan hal tersebut, pada bagian ini akan dikaji tentang a) kontroversi tentang 'cacatnya' landasan hukum pelaksanaan UN, b) kontroversi tentang lembaga BSNP dan keindependenya sebagai pelaksana UN, c) Akses UN yang mereduksi tujuan pendidikan 'humanisasi' dan 'homonisasi', d) akses UN sebagai pemicu disorientasi belajar siswa dan mengajar Guru, e) Tidak terpenuhinya delapan standar yang merata secara nasional, namun diberlakukan angka kelulusan yang sama mencidrai rasa keadilan bagi peserta didik.

UN dilandasi oleh Landasan Hukum yang "Cacat"
Permasalahan yang sering diperdebatkan terkait dengan UN adalah mengenai kontradiksi landasan hukum pelaksanaan UN, keluarnya PP. No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang diharapkan menjadi landasan hukum pelaksanaan UN malah bertentangan dengan peraturan di atasnya UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, misalnya tentang 'siapa yang sebenarnya yang mempunyai otoritas melakukan evaluasi terhadap peserta didik'. menurut UU. No 20 tahun 2003 pasal 58 wewenang tersebuta ada ditangan pendidik, namun hal ini kontradiktif dengan PP. No.10 tahun 2005 dan Permen No. 77 tahun 2008 yang memberikan otoritas evaluasi pada menteri pendidikan nasional dengan meminta bantuan badan yang disebut BSNP.

Kontradiksi tersebut bukan hanya terjadi antar produk hukum, bahkan juga pertentangan antar pasal dan pertentangan antar ayat dalam PP No. 19 tahun 2005 banyak sekali terjadi. Misalnya pertentangan pasal 66 ayat 1 butir c yang menyatakan UN dipakai untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik hal ini bertentangan dengan pasal 68 yang menyatakan ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan. Pertentangan antar ayat dapat dilihat pada pasal 69 ayat 1 dan ayat 2 tentang kontroversi UN itu hak atau wajib, pada ayat 1 dikemukakan UN adalah hak, hal ini berimplikasi boleh ikut UN atau tidak, sedangkan pada ayat 2 dikemukakan UN adalah wajib, hal ini berimplikasi peserta didik wajib ikut UN.

Berdasarkan uraian di atas, jelas sekali bahwa landasan hukum pelaksanaan UN tersebut amat lemah dan cacat karena banyak kontradiksi ditemukan di dalamnya.

Kontroversi Tentang Kewenangan dan Keindependenan BSNP
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kewenangan guru dalam menilai keberhasilan pendidikan yang dimanatkan UU No.20 tahun 2003 telah 'dirampok' secara inskonstitusional oleh pemerintah melalui BSNP berdasarkan PP. No. 16 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.

Memberikan kewenangan pada BSNP dalam menilai keberhasilan pendidikan dan 'menghakimi' kelulusan peserta didik sebenarnya sebuah langkah mundur dalam dunia pendidikan. pemberian kewenangan ini nyata sekali tidak didasari pengetahuan pedagogik yang baik alias didasarkan pada pertimbangan pedagogik yang serampangan. Peserta didik hanya dianggap sebagai objek atau out-put dari sebuah 'pabrik' pendidikan yang perlu disortir kelayakannya. produk yang gagal dan tidak sesuai standar dimasukkan dalam 'tong sampah', hanya yang memenuhi standar yang boleh menikmati pendidikan yang lebih tinggi. Logika berpikir semacam ini, jelas banyak diracuni oleh cara berpikir "Pabrikkan dan makelar", sekolah dianggap sebagai pabrik dan ujian sekolah adalah seleksi produk. Terkait dengan hal ini, kadangkala saya berpikir inilah yang akan terjadi jika pemegang penentu kebijakan pendidikan diduduki oleh 'saudagar-saudagar' "ekonom-ekonom" dan "opurtunis-opurtunis' yang sesungguhnya miskin pengetahuan pedagogik.

Pemberian kewenangan pada BSNP dalam menilai keberhasilan pendidikan dan 'menghakimi' kelulusan peserta didik sesungguhnya pembiaran penjegalan fungsi pendidikan sebagai pelestari tradisi kemanusiaan dan pendewasaan anak manusia. Anak didik adalah subjek manusia yang mempunyai beragam keunikan dan perbedaan, dan yang mengenali hal ini adalah guru itu sendiri bukan orang lain yang tidak bersentuhan dengannya apalagi oleh lembaga yang terdiri dari orang-orang yang sesungguhnya sangat jauh bersentuhan dengan dirinya.

BSNP menurut PP. No.19 tahun 2005 adalah lembaga independent, hal ini mempunyai maksud bahwa BSNP lepas dari segala campur tangan pemerintah, namun dalam kenyataanya BSNP merupakan kepanjangan pemerintah dalam hal ini Depdiknas. Dinegara-negara maju lembaga yang setara dengan BSNP dibentuk oleh lembaga profesional guru, karena pada dasarnya gurulah yang tahu standar apa yang diperlukan oleh sekolah, bukan oleh lembaga yang berisi oleh sekumpulan ahli pendidikan yang sebenarnya tidak pernah mengalami dan merasakan kebutuhan apa yang diperlukan oleh sekolah.

Akses UN Mereduksi Tujuan Luhur Pendidikan "Humanisasi dan Homonisasi"
UN yang dipakai sebagai 'hakim' atau tolok ukur kelulusan siswa sesungguhnya adalah 'pelecehan terang-terangan' terhadap tujuan luhur pendidikan 'humanisasi dan homonisasi'. Sesungguhnya UN hanyalah program yang tidak menghargai keunikan manusia sebagai pribadi. UN telah 'mebonsai' arti manusia menjadi setara dengan barang produksi. Barang produksi yang cacat dipinggirkan dan dianggap menjadi tidak berharga.

Pribadi manusia sangatlah unik dan tidak tergantikan, manusia oleh Tuhan dianugrahi dengan Bakat, talenta, kreatifitas, dan kebebasan mengembangkan diri . Kemudian keunikan yang tak tergantikan tersebut 'dihakimi' dengan menggunakan sebagian sangat kecil dari keunikan mereka, yaitu kemampuan akademik melalui UN, dan kemudian hasil dari sebagian sangat kecil dari keunikan manusia ini dijadikan dasar 'generalisasi' mutu manusia, sebuah logika yang didasari premis yang serampangan. Indikator ini dapat mudah kita lihat, banyak siswa yang tidak lulus UN adalah siswa yang berpretasi di bidang lain seperti olahraga, seni, bahasa, dan lain-lain.

Saya yakin, semua orang sepakat bahwa kemampuan akademik juga penting untuk dipelihara, namun juga perlu disadari bahwa ada tanggung jawab lain yang diemban oleh pendidikan selain kemampuan akademik yaitu pengembangan karakter sebagai pondasi bagi hidup seseorang.

Akses UN Pemicu Disorientasi Belajar Siswa dan Mengajar Guru
Permasalahan lain yang muncul sebagai akibat dari UN sebagai 'hakim' penentu kelulusan adalah disorientasi belajar siswa dan mengajar guru. Alih-alih UN dapat meningkatkan belajar siswa dan kerja keras sebagai karakter, sepeti sering diucapkan oleh pejabat pemerintah, yang terjadi sesungguhnya adalah siswa berbondong-bondong masuk dalam bimbingan belajar, dan tidak sedikit bimbingan belajar ini bekerja dengan sekolah-sekolah. Lembaga yang melabeli dirinya bimbingan belajar ini, realitanya adalah lembaga bimbingan test, yang hanya mengedrill test-test yang diprediksi keluar dalam UN. Ironisnya guru dan sekolah juga terjebak pada hal yang sama, pembelajaran yang mempunyai makna luhur telah dikerdilkan menjadi sekedar teaching for test. Meminjam istilahnya Andi Hakim nasution, sekolah dan lembaga bimbingan belajar menjadi lembaga 'pembonsaian' pendidikan, menjadikan anak menjadi tukang hafal soal dan jawaban, yang cenderung dilupakan seiring dengan berlalunya UN.

Tidak Terpenuhinya Standar Pendidikan Merata Vs Evaluasi Dilakukan Nasional
Seperti kita lihat saat ini, UN bersifat uniform untuk semua sekolah di Indonesia dengan standar kelulusan yang sama. menjadi sebuah pertanyaan besar?, bagaimana UN yang sama diselenggarakan untuk peserta didik yang ada dikota besar dengan peserta didik didaerah pedalaman yang tertinggal di seluruh Indonesia. Standar kelulusan yang sama hanya dapat diberlakukan ketika semua sekolah memenuhi kualifikasi delapan standar yang sama seperti telah ditetapkan oleh BSNP. Selama ini sebagian besar sekolah tyang telah memenuhi ke delapan standar tersebut ada di pulau Jawa terutama Jakarta, yang terjadi kemudian adalah 'pemaksaan' kelulusan dengan standar jawa. Kenyataan ini sangat 'melukai' rasa keadilan bagi peserta didik.

Terkait dengan hal ini, Saya memahami logika berpikir pemerintah, dalam keputusasaan, saya seringkali sampai pada kesimpulan UN lebih kental dengan nuansa proyek 'menghambur-hamburkan Uang rakyat', dengan mengorbankan hak asasi anak daripada usaha peningkatan mutu pendidikan.

UJIAN NASIONAL (UN) EVALUASI YANG PERLU DIEVALUASI
Dari uraian di atas efektifitas UN menyisakan banyak permasalahan, mulai dari landasan hukum yang cacat sampai dengan dampak pelaksanaan UN di lapangan terhadap pendidikan, seperti menyebabkan disorientasi belajar siswa dan mengajar guru. Manfaat yang mungkin dari UN adalah 'pemetaan kemampuan kognitif', yang kemudian diciderai 'kemampuan kognitif' dijadikan sebagai hakim penentu kelulusan siswa, yang sebenarnya telah mengkerdilkan esensi manusia sebagai individu yang unik.

Berbicara tentang 'tentang UN evaluasi yang perlu dievaluasi" saya berpendapat bahwa UN perlu dilakukan re-evaluasi ulang. Mengukur standar kualitas lulusan peserta didik menurut saya harus benar-benar mengukur keseluruhan aspek kemanusiaan manusia, tidak diredusir hanya sekedar kemampuan akademik. UN tetap diperlukan namun posisinya diletakkan sebagai pemetaan kualitas peserta didik untuk kemampuan akademik, dan perlu juga dilengkapi alat evaluasi lain untuk mengevaluasi aspek-aspek yang lain, seperti afektif, dll. Penggunaan UN konvesional yang hanya mengukur aspek akademik sebagai 'hakim' penentu kelulusan siswa jelas melanggar banyak aspek, terutama aspek pedagogik dan hak asasi manusia. Menurut saya penentuan kelulusan tetap menjadi otonomi guru, karena merekalah yang mengetahui perkembangan kemampuan anak didiknya.

Terkait dengan hal ini, saya teringat ucapan yang disampaikan oleh Bapak Hari Setiadi kepala Bidang analisis dan Pusat Penilaian Pendidikan, dalam suatu kesempatan. Beliau menyatakan, "kalau tidak UN, apa alat pengganti UN?", " kalau guru penentu kelulusan, bagaimana dengan objektivitasnya?". Statement tersebut menurut saya tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Beliau sesungguhnya, dilandasi oleh pemikiran yang menganggap manusia secara mekanis yang kemudian diredusir sebatas aspek kemampuan akademik, melupakan bahwa manusia sebagai pribadi yang dikaruniai Tuhan dengan pikiran, Budi, Kehendak, emosi dan lainya. Selain itu statement tersebut kental dengan nuansa 'manajemen curiga dan tidak percaya".

Terkait dengan alternatif UN sebagai alat penentu kelulusan, sistem penilaian portofolio layak untuk dikaji dan dipertimbangkan, karena penilaian ini lebih strategis dalam menggambarkan diri peserta didik sebagai siswa daripada UN. Selain itu, penilaian portofolio ini sejalan dengan isu yang sedang digembar-gemborkan pemerintah otonomi pendidikan dan refoemasi pendidikan. Penilaian portofolio juga akan memberdayakan guru karena guru dituntut untuk bekerja keras agar memberikan penilaian yang objektif kepada murid.

Sebuah logika yang tidak logis, jika pemerintah ingin memberdayakan guru justru yang dilakukan adalah usaha-usaha pengkebirian potensi dan hak guru.


Semua yang tertulis di atas adalah pendapat pribadi saya, sampean boleh berbeda pendapat?, bagaimana menurut sampean?


Malang, 26 Mei 2009

Baskoro Adi Prayitno
FKIP-UNS Surakarta
www.baskoro1.blogspot.com
Dedicated to My Anggel :)








Minggu, 19 April 2009

BENDERA HITAM SETENGAH TIANG

BENDERA HITAM SETENGAH TIANG

Bendera Hitam Setengah Tiang
untuk matinya kebenaran
untuk matinya keadilan
untuk matinya kejujuran

Bendera Hitam Setengah Tiang
untuk hilangnya eksistensi

untuk terpinggirkannya anak negeri

Bendera Hitam Setengah Tiang
untuk rubuhnya paradigma idealisme,
Ruh Epistemi Indonesianisme

Bendera Hitam Setengah Tiang
untuk matinya nurani...


Baskoro Adi Prayitno
Malang, 18-April-2009

Jumat, 20 Maret 2009

PERLUNYA REORIENTASI PARADIGMAPEMBELAJARAN
BIOLOGI DI SEKOLAH


Oleh:
Cak Baskoro


Mengapa saya hanya menyoroti hal ini?, sungguh dalam tulisan ini, tidak pernah terlintas dalam hati dan benak saya untuk mendeskreditkan guru sebagai biang keladi munculnya permasalahan di atas. Tulisan ini harus dimaknai sebagai oto-kritik bagi kita, sebagai dasar bagi kita dalam membenahi diri guna perbaikan dimasa mendatang


Sebuah Pengantar: Fenomena Pembelajaran Biologi Kita Saat ini
Pembelajaran biologi di sekolah sering mendapat kritikan. Dibandingkan dengan matapelajaran sains lainnya, nilai matapelajaran biologi memang relatif lebih tinggi, namun masih banyak persoalan yang cukup mengganggu dan merisaukan hati saya, terutama pada pergeseran orientasi belajar siswa, yang terjebak kepada kegiatan menghafal ‘produk’ biologi. Ada kecenderungan siswa hafal di luar kepala konsep-konsep biologi namun mereka tidak memahami makna dari sebuah konsep yang mereka hafal. Ada sebuah ilustrasi menarik terkait dengan hal ini, saya pernah berkolaborasi dengan guru sekolah menengah dalam kegiatan penelitian tindakan kelas (classroom action research) di sebuah kota, setelah saya beberapa kali ikut terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, ada sebuah fakta yang menurut saya sangat menarik untuk dicermati “ketika guru menanyakan pada siswa-siswanya tentang apa yang dimaksud dengan simbiosis mutualisme, sebagian besar siswa dapat menjawab dengan benar, ketika guru meminta siswa memberikan contoh simbiosis mutualisme, semua siswa menjawab burung jalak dengan kerbau, persis seperti yang tertulis dalam buku paket mereka saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Sifat iseng saya muncul, saya meminta siswa memberikan contoh lain selain burung jalak dengan kerbau yang telah mereka sebutkan sebelumnya, saya sangat terkejut, ternyata semua siswa tidak ada yang bisa menjawab”. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kecenderungan siswa hanya belajar menghafal konsep tanpa usaha untuk memahaminya.

Mengapa Permasalahan Itu Muncul?
Idealnya mengurai akar masalah dari fenomena di atas diperlukan kajian yang komprehensif dan tidak parsial apalagi reduksionis. Kita harus mengurai setiap ‘benang kusut’ ini mulai dari gnosis sampai praksis. Namun kali ini saya hanya menyoroti hanya dari sisi proses dan terutama terbatas pada kekurangtepatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam membelajarkan biologi. Mengapa saya hanya menyoroti hal ini?, sungguh tidak pernah terlintas dalam hati saya, tulisan ini untuk menyalahkan apalagi mendeskreditkan guru sebagai biang keladi munculnya permasalahan di atas. Tulisan ini hendaknya dimaknai sebagai otokritik bagi kita sebagai dasar dalam refleksi diri guna perbaikan pendidikan di negara kita tercinta.

Bila kita mau jujur mengakui, munculnya permasalahan di atas salah satunya disebabkan oleh kekurangtepatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam membelajarkan biologi. Ada kecenderungan guru ‘memandang’ biologi hanya sebagai kumpulan produk sains dan melupkan aspek lain dari biologi sebagai proses sains. Pembelajaran biologi di sekolah sampai saat ini masih terpaku pada paradigma penelusuran informasi dan melupakan aspek lain dari pembelajaran. Akibat dari pandangan yang kurang tepat ini, guru biologi tak ubahnya seperti guru sejarah yang sedang membelajarkan ‘sejarah’ biologi pada siswa-siswanya. Keberhasilan pembelajaran biologi dinilai hanya dari banyaknya fakta yang berhasil dihafalkan oleh siswa. Guru cenderung membelajarkan biologi hanya terorientasi pada isi pelajaran (content based) dengan strategi pembelajaran yang kental bernuansa teacher centered.

Keadaan di atas, kemudian diperparah oleh fakta bahwa guru biologi mengajarkan biologi dengan menggunakan buku paket pelajaran mereka seperti menggunakan buku resep masakan, mereka mengajarkan halaman-perhalaman sesuai dengan yang tertulis dalam buku paket mereka, tanpa berusaha menganalisis, mengkritisi isi buku tersebut yang sebenarnya sebagian besar cenderung mekanistik, strukturalistik bahkan utopis. Konsekuensi logis dari hal ini siswa cenderung belajar menghafal fakta tanpa melibatkan penalaran mereka. Dalam keadaan seperti ini sebenarnya tidak ada beda siswa dengan burung beo.

Terkait dengan hal ini, sebenarnya pemerintah sudah berusaha melakukan berbagai hal, baik melalui kegiatan in service training maupun kegiatan-kegiatan yang lainnya, namun ada kecenderungan hal ini bertolak belakang dengan apa yang telah dibekalkan kepada mereka sebelumnya. Saya pernah terlibat beberapa kali dalam kegiatan-kegiatan semacam ini. Dalam setiap kegiatan saya sering iseng menanyakan alasan mereka (baca: guru) cenderung memilih pendekatan pembelajaran yang kurang tepat, berdasarkan jawaban-jawaban tersebut, paling tidak saya dapat mengklasifikasikan dua alasan yang sering dilontarkan oleh guru yaitu; 1) keterkaitan permasalahan content matapelajaran yang harus disampaikan oleh guru dengan alokasi waktu yang disediakan oleh kurikulum, 2) mis-mindset guru terhadap istilah mengajar, guru mengartikan mengajar adalah memposisikan dirinya sebagai satu-satunya penyampai informasi tunggal bagi siswanya, mengajar adalah kegiatan mentransfer/meng copy paste pengetahuan dari otak/pikiran guru ke otak/pikiran siswa, ada perasaan tidak mengajar kalau tidak ceramah.

Terkait dengan hal di atas, jadi jangan heran jika siswa-siswa kita, dilaporkan oleh bebearapa penelitian; rendah dalam kemampuan berpikir, kesadaran diri atas tanggungjawabnya sebagai siswa sangat rendah, ketrampilan sosialnya rendah. Sementara itu, menurut Ball (2005) di era informasi seperti saat ini, satu-satunya cara agar sebuah bangsa tidak tergilas oleh roda perubahan zaman adalah membekali semua elemen bangsa agar terampil dalam memecahkan masalah, berpikir tingkat tinggi, dan kemampuan metakognisi.

Perlunya Reorientasi Paradigma Pembelajaran Biologi
Seperti telah saya diuraikan sebelumnya, menurut saya dipandang mendesak untuk segera dilakukan pergeseran (re-orientasi) paradigma dalam pembelajaran biologi, yaitu; 1) pergeseran pandangan dari menempatkan biologi secara parsial yaitu hanya sebagai kumpulan produk sains yang harus dihafalkan oleh siswa menjadi pandangan yang lebih komprehensif dan holistik, yaitu mendudukkan kembali pembelajaran biologi seperti hakikat asli ilmu biologi, yaitu memandang biologi sebagai produk dan proses. Pergeseran ini tentu saja menuntut re-orientasi pembelajaran biologi yang tidak hanya terorientasi pada produk tetapi juga memberdayakan ketrampilan-ketrampilan lain yang selayaknya dimiliki oleh seorang saintis (ketrampilan proses sains), 2) menggeser paradigma pembelajaran dari ásumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari otak/pikiran guru ke otak/pikiran siswa, menuju pembelajaran yang lebih memberdayakan seluruh aspek kemampuan siswa, 3) menggeser paradigma pembelajaran dari berpusat pada guru menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa, belajar mandiri dan pemahaman diri , 4) menggeser dari belajar menghafal konsep menuju belajar menemukan (inkuiri) dan membangun sendiri (mengkonstruksi) konsep, 5) menggeser dari belajar individu klasikal menuju pembelajaran kolaboratif-kooperatif yang tidak hanya mengajari siswa terampil berpikir namun juga mampu mengajarai siswa ketrampilan sosial.

Reorientasi Paradigma Pembelajaran Biologi Sebuah Keniscayaan
Kegagalan kegiatan-kegiatan mengubah miss-mindset guru dalam pembelajaran, menurut hemat saya, sebagian besar disebabkan oleh kekurang tepatan strategi ‘sosialisasi’ yang selama ini lebih di dominasi oleh kegiatan-kegiatan penataran-penataran yang sangat kental bernuansa ‘proyek’. Ada kecenderungan setelah guru mengikuti kegiatan-kegiatan penataran, ketika mereka kembali ke sekolah “perilaku’’ mengajar mereka tidak berbeda dengan sebelum mereka berangkat penataran. Pertanyaannya mengapa hal ini terjadi?, menurut hemat saya hal ini disebabkan karena kesalahan memandang mereka (baca; guru) sebagai objek, mereka tidak pernah dilibatkan dalam usaha mengkonstruksi sendiri usaha-usaha memecahkan permasalahan riil pembelajaran mereka sendiri di dalam kelas. Pendekatan pelatihan-pelatihan yang cenderung bersifat ‘top-down’ yang kadang kala tidak relevan dan sesuai permasalahan riil di lapangan menjadikan kegiatan-kegiatan pelatihan menjadi tidak bermakna bagi guru dan bahkan cenderung terkesan hanya menghambur-hamburkan uang.

Dalam pikiran saya, reorientasi paradigma pembelajaran biologi di maksud adalah sebuah usaha mengubah mindset (pola pikir), mengubah sebuah mindset bukanlah pekerjaan mudah, apalagi jika miss-mindset ini sudah terlanjur dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dibutuhkan usaha lebih dari sekedar kegiatan-kegiatan penataran dan seminar-seminar. Kegiatan ini harus bermuara pada perubahan (pergeseran) perilaku guru dalam membelajarkan biologi di kelas.

Menurut saya, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah membekali guru kemampuan secara mandiri untuk memecahkan setiap permasalahan pembelajaran di dalam kelas. Mendesak untuk segera “dibentuk’’ sebuah komunitas belajar di sekolah. Komunitas belajar ini dengan melibatkan beberapa pihak yaitu, guru, siswa, teman sejawat,orang tua siswa, ahli pendidikan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Guru harus dibiasakan secara kolaboratif merumuskan tujuan pembelajaran, tujuan pengembangan siswa, merancang pembelajaran, melaksanakan dan mengamati pembelajaranya, mendiskusikan dengan berbagai pihak yang terkait untuk kemudian menyempurnakan dan membelajarkannya lagi, atau jika perlu membuka ‘pintu’ kelasnya untuk orang lain melihat, mengamati pembelajarannya di dalam kelas, hal ini akan membantu guru mendapatkan masukan yang jujur dari orang lain tentang pembelajarannya di dalam kelas. Pembiasaan-pembiasaan kegiatan reflektif semacam ini diharapkan akan menjadikan sebuah kebiasaan, yang pada giliranya perubahan mindset akan menjadi sebuah keniscayaan.


Bagaimana menurut pendapat sampean?


Malang- Surakarta,
Sabtu 21 Maret 2009


Salam
Baskoro Adi Prayitno

Sabtu, 28 Februari 2009

BELAJAR MEMAHAMI SATU SAMA LAIN

BELAJAR MEMAHAMI SATU SAMA LAIN

Oleh:
Cak Baskoro

Menurut saya pemahaman bukanlah berdalih maupun menuduh, melainkan mengajarkan pada kita bagaimana menahan diri agar tidak lekas-lekas menyalahkan orang lain, seolah-olah kita steril dari kesalahan….


Tulisan ini berawal dari obrolan dari orang-orang kelebihan waktu di warung angkringan pinggir jalan, dengan hanya bermodalkan satu gelas JKJ hangat (Jahe, Kencur, Jeruk) seharga tiga ribu rupiah ngobrol ngalor-ngidul sampai tengah malam, bahkan kadang menjelang pagi, tidak pulang kalau tidak diusir penjaga warung (he..he..). Topik obrolan dari soal Tuyul sampai dengan masalah-masalah yang agak berat sampai super berat. (tapi yang sering topik pembicaraan sangat tidak berat he…he…)

Topik obrolan malam ini, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba membicarakan bagaimana memahami satu sama lain (mungkin karena sebagian besar dari kami adalah orang-orang yang jauh dari keluarga, yang bermasalah dengan masalah dipahami dan memahami…he…he…). Namun dalam tulisan ini, saya tidak hendak membicarakan bagaimana tips dan trik memahami dalam konteks keluarga yang saling berjauhan (karena saya juga sulit untuk paham dan memahami…he..he..). Saya mencoba membicarakan dalam konteks yang lebih luas “rumah kita” (baca: bangsa…wuihhhh…tingginya he..he..)

Saya pikir masalah memahami merupakan masalah yang sangat penting bagi kita. Barang kali Banyak dari kita percaya bahwa kata kunci dari memahami adalah komunikasi, di sisi lain planet ini -saat ini- dipenuhi dengan jaringan, telepon seluler, fax,internet dan alat komunikasi lainnya, pun demikian kesalahpahaman toh masih terus terjadi. Kenyataan ini menyadarkan saya bahwa ‘memahami’ tidak dapat digitalkan walaupun dengan menggunakan alat komunikasi yang super canggih sekalipun.

Konflik vertical dan horizontal di ‘rumah kita’ ini sebagian besar berakar dari ketidakmauan kita (kalau tidak boleh dikatakan ketidakbisaan) memahami satu sama lain. Permasalahan ini menurut saya merupakan masalah yang sangat besar, dan masalah ini adalah tanggung jawab dari sistem pendidikan kita. Mengajarkan dasar-dasar Biologi, Fisika dan ilmu-ilmu lainnya kepada anak didik merupakan masalah penting. Mengajarkan bagaimana memahami satu sama lain menurut saya adalah esensi spiritual pendidikan yang sejati/hakiki. Mengajarkan memahami satu sama lain kepada anak didik sebenarnya adalah melindungi moral kemanusiaan yang menjadikan jelas batas dan perbedaan kita dengan binatang.

HAKIKAT PEMAHAMAN
Memahami (comprehend) menurut Morin, berarti memahami bersama-sama secara intelektual. Pemahaman bekerja melalui inteligibilitas dan penjelasan. Penjelasan mengimpilikasikan adanya pertimbangan terhadap suatu objek. Pun demikian pemahaman itu melampaui penjelasan (pusing ya…he..he.. sama..he..he..). Penjelasan gampangnya kurang lebih begini “ketika saya melihat seorang anak kecil menangis, saya tidak akan memahami kesedihanya dengan hanya mengukur dan mengidentifikasi kandungan kimiawi yang ada pada air matanya, untuk memahaminya saya harus menggali dan menemukan kesedihan masa kecil saya sendiri, saya harus menempatkan dirinya sebagai diri saya dan saya sebagai dia. Kita harus menempatkan diri kita sebagai orang lain, dan orang lain sebagai diri kita, ego alter harus di ubah menjadi alter ego. Kata kunci dari konsep pemahaman ini adalah empati, simpati dan kemurahan hati.

PENYEBAB SULIT MEMAHAMI SATU SAMA LAIN
Sedikitnya ada tiga penyebab hambatan-hambatan internal terkait dengan sulitnya memahami satu sama lain, yang pada prinsipnya penyebab-penyebab tersebut mengantarkan kita pada perasaan menjadi satu-satunya seseorang di pusat dunia dan menganggap yang lainnya sebagai sesuatu yang sekunder bahkan tersier, tidak bermakna, kecil tak berarti, sebutir debu, numpang hidup dan musuh. Penyebab tersebut antara lain adalah;

Egosentrisme
Egosentrisme adalah kata lain dari pembenaran diri, pemujaan diri dan kecenderungan menimpakan penyebab semua kesalahan pada orang lain, hanya kitalah yang paling benar. Kita merendahkan perkataan dan perbuatan orang lain, kita memilih apa saja yang tidak disukai dan menolak apa yang disukai orang lain, kita hanya memilih kenangan yang menyenangkan dan menolak kenangan yang tidak menyenangkan, kita tidak memiliki kemampuan untuk mengkritik diri sendiri sehingga kita terbenam dalam alasan-alasan paranoid menyalahkan orang lain. Kita berpura-pura tidak pernah gagal dan lemah mengakibatkan kita tidak berbelas
kasihan terhadap kelemahan dan kegagalan orang lain.

Etnosentrisme dan Sosiosentrisme
Etnosentrisme dan sosiosentrisme menurut Morin penyebab utama terjadinya xenophobia dan rasisme yang berujung pada memperlakukan orang lain seolah-olah bukan manusia bahkan lebih rendah dari binatang. Hasil dari etnosentrisme dan sosiosentrisme adalah prasangka, rasionalisasi berdasar premis ngawur, pembenaran diri tanpa dasar, ketidakmampuan mengkritisi diri sendiri, penalaran paranoid, kesombongan, penghinaan, dan caci maki.

Pemikiran Reduktif
Terkait dengan hal ini filosof Hegel mengungkapkan ‘pemikiran yang abstrak akan memandang seorang pembunuh hanya dari kualitas abstraknya (yang terpisah dari akar permasalahannya), dan dengan cara pandang tersebut ‘memusnahkan’ sisa kemanusiaanya. Ketika sebuah pengetahuan mengenai sesuatu yang kompleks kemudian disempitkan(direduksi) menjadi satu unsur saja, dan unsur ini dianggap sebagai satu-satunya element paling penting, konsekuensi logisnya maka pemahaman akan sebuah pengetahuan akan berubah dari ujud aslinya, seperti yang dicontohkan oleh Hegel ketika kita membatasi (mereduksi) seorang manusia hanya dari sisi kejahatannya saja maka akan mengantarkan kita pada sikap prejudis dan memandang rendah orang lain.

BAGAIMANA MENDORONG TIMBULNYA PEMAHAMAN
Menurut saya pemahaman bukanlah berdalih maupun menuduh, melainkan mengajarkan pada kita bagaimana menahan diri agar tidak lekas-lekas menyalahkan orang lain, seolah-olah kita steril dari kesalahan. Bagaimana kita dapat mendorong timbulnya pemahaman?

Introspeksi Diri
Introspeksi mempunyai arti memahami kelemahan dan kegagalan diri. Jika kita menyadari bahwa kita semua bisa dan pernah berbuat salah, rapuh, dan tidak sempurna akan mengantarkan kita pada pemahaman bahwa semua dari kita sama-sama membutuhkan pemahaman, tidak selayaknya kita memposisikan diri sebagai hakim atas segala sesuatu.

Keterbukaan Terhadap Sesama
Memahami orang lain menuntut adanya kesadaran akan kompleksitas manusia, kita harus menyadari bahwa manusia tidak boleh direduksi sebatas bagian kecil darinya atau bagian terburuk dari masa lalunya. Kita mengenal Anton Medan mantan preman menjadi ustad besar. Seseorang yang melihat jijik terhadap gelandangan di jalanan sesungguhnya telah mereduksi manusia hanya dari sebuah penampilannya.

Toleransi
Toleransi menurut Voltaire adalah sesuatu yang membuat kita menghormati hak orang lain untuk mengungkapkan hal-hal yang kita anggap tidak pantas, bukan karena kita menghargai hal yang tidak pantas itu, melainkan karena kita menghindari perbuatan mengucilkan orang tersebut dengan memaksakan pandangan kita terhadap kepantasan. Toleransi adalah sesuatu menghargai ungkapan pendapat yang bertentangan dengan pendapat kita. Toleransi adalah kesadaran ada kebenaran dalam ide yang bersebrangan dengan ide kita, dan ide itu adalah kebenaran yang harus kita hormati. Namun toleransi itu hanya berlaku untuk suatu ide, bukan
untuk serangan, anarkisme dan pembunuhan.

Bagaimana Pendapat Sampean….?


Malang, Sabtu, 28 Februari 2009
Mendadak Wise…he..he…


Salam

Baskoro Adi Prayitno
sedang belajar untuk memahamiRata Penuh

Sabtu, 14 Februari 2009

Pengembangan Karakter dan Pendidikan Kita

PENGEMBANGAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN KITA


Oleh:
Cak Baskoro


Jika kita lihat dari ’kaca mata’ ini, saya mendapat kesan pendidikan watak di sekolah kita benar-benar kacau dan amburadul, terkesan kita tidak benar sunguh-sungguh melaksanakan pendidikan watak. Jadi jangan ngomong lagi tentang pendidikan watak.... Jangan Ngomong Lagi tentang Nation and Caracter Building, karena kita sendiri yang telah mencampakannya dalam tong sampah…untuk jadi santapan Anjing!!!


Saya sungguh merasa sangat sedih dan perihatin melihat berbagai peristiwa yang secara berulang ditulis dan ditayangkan oleh media massa, seolah-olah ‘dirumah kita’ tercinta ini sudah tidak ada hari tanpa ‘kekerasan’, tiada hari tanpa demonstrasi yang diakhiri dengan anarkhisme. Kita dulu dikenal sebagai bangsa yang sopan dan ramah, kini berubah menjadi bangsa yang beringas dan mudah marah tidak ada bedanya dengan sosok penyandang kelainan retardasi mental, yang cenderung akan menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya. Baru saja saya melihat tayangan di televisi tentang demonstrasi anarkhis berujung pada kematian ketua DPRD Sumut terkait dengan pembentukan propinsi tapanuli.

Terkait dengan hal ini, saya berpikir pasti ada yang salah, atau paling tidak ada sesuatu nilai-nilai yang dulu pernah kita miliki tergerus (kalau tidak bisa dikatakan hilang sama sekali) dari diri kita, dan nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai vital yang mengantarkan kita kepada kebijaksanaan memahami dan menerima segala perbedaan.

Saya teringat dengan ucapan Bung Karno, bahwa bangsa ini perlu membangun watak bangsa (caracter building), terlepas ucapan Bung Karno itu dalam konteks politik, namun paling tidak ucapan itu menyadarkan kita bahwa keragaman ‘di dalam rumah kita’ berpotensi menjadi bom waktu yang siap meledak, ketika watak bangsa ini tidak diperhatikan dan digarap dengan baik.

Ungkapan tentang character building saat ini, sering kali kita dengar, diucapkan para politisi, birokrat, pemimpin organisasi, dengan teori yang ‘berbusa-busa’, mengenai tentang pentingnya pendidikan karakter untuk ‘merehabilitasi’ modal sosial yang telah tergerus dari diri kita. Namun bagi saya, ungkapan-ungkapan ini sudah klise kosong, nyaris tak bermakna. Saat ini, kalau saya mendengar orang mengucapkan kata-kata tersebut, berlalu begitu saja tidak pernah singgah di dalam otak apalagi hati saya (kalau tidak boleh dikatakan muak).

Barangkali sampean menganggap saya seorang pesimistis yang selalu menilai negatif terhadap sesuatu. Untuk beberapa hal, penilaian sampean barangkali benar. Namun yang perlu sampean ketahui pesimistis saya bukan tanpa alasan.

Ketika ungkapan tentang pengembangan karakter diucapkan oleh Bung Karno dan Ki Hadjar Dewantoro dari taman siswa, ungkapan ini begitu meninggalkan bekas yang mendalam dalam hati saya. Ungkapan itu begitu menghidupkan harapan besar dalam hati saya. Saya teringat bagaimana Ki Hadjar Dewantoro memaknai kata tersebut dalam konteks pedagogik –bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain pintar juga menjadi manusia yang berkarakter-, yang kemudian kita kenal dengan konsep cipta, rasa dan karsa.

Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Kita Saat Ini
Barangkali banyak dari sampean sepakat masalah caracter building masih merupakan permasalahan besar bahkan sangat amat besar. Segala penyimpangan, penyelewengan dan kebobobrokan yang kita rasakan saat ini lahir dari lemahnya karakter (watak) pada diri kita. Saya kadang kala berpikir barangkali Machiaveli benar mengatakan bahwa ’orang baik akan hancur oleh sekelompok orang yang tidak baik’. Namun hati kecil saya percaya bahwa orang baik dan jujur masih cukup banyak di negara ini, namun saat ini mereka tidak berdaya mengahadapi kelompok kecil manusia Indonesia yang korup yang bersembunyi pada kekuaasaan atau membonceng pada kekuasaan.

Pertanyaannya adalah; mengapa karakter (watak) kita lemah?, apakah kita tidak pernah mendapatkan pendidikan watak?, apa yang salah dengan pendidikan watak kita?, Jawabanya Banyak Sekali...!!, jawaban inilah yang mendasari pesimisme saya. Marilah kita uraikan satu persatu permasalahan-permasalahan terkait dengan pendidikan watak?.

Pesan pendidikan watak barangkali dititipkan pada pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau barangkali malah pelajaran budi pekerti. Sekarang marilah kita lihat apa yang diajarkan oleh pelajaran-pelajaran tersebut?, kita harus jujur mengakui bahwa program utamanya hanya terorientasi pada nilai-nilai kognitif semata, atau paling luar biasa, sedikit menyentuh sampai pada aspek afektif. Pendidikan watak seharusnya tidak hanya berhenti sampai pada aspek itu saja, yang lebih penting dari itu adalah kearah pembentukan perilaku. Pendidikan watak harus dimulai dari gnosis sampai praksis istilah pedagogiknya..

Di sisi lain secara teoritis, seorang ahli ilmu psikologi Fishbein meyatakan sumbangan efektif pengetahuan (kognitif) dan sikap (afektif) terhadap perilaku sangatlah kecil, seringkali terjadi inkonsistensi pengetahuan, sikap dengan perilaku seseorang. Untuk memperkuat argumen ini saya ambil contoh kasus ’saya seorang perokok, saya tahu tentang bahaya merokok, seandainya saya diberikan test pengetahuan dan sikap tentang bahaya rokok saya yakin mendapat nilai yang baik, namun mengapa sampai saat ini saya tetap merokok

Mengantarkan anak sampai pada tahap praksis (pembentukan perilaku) tidaklah semudah meningkatkan aspek kognitif dan afektif, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk mengamalkan nilai, perasaan merasa mempunyai harga diri yang tinggi setelah mengamalkan nilai. Oleh Ki Hadjar Dewantoro diterjemahkan dengan cipta, rasa dan karsa. Maqom tertinggi keberhasilan pendidikan watak adalah kesukarelaan anak untuk mengikatkan diri pada nilai (voluntary personal commitment to values).

Sekarang marilah kita lihat cara bangsa ini melaksanakan pendidikan watak?, karena pendidikan watak kita terorientasi pada aspek kognitif sedikit menyentuh aspek afektif, dan melupakan aspek praksis, maka segi evaluasi juga terorientasi pada aspek-aspek tersebut (kognitif sedikit afektif). Mengetahui kemajuan anak dari aspek kognitif sangatlah mudah di lakukan.

Jika kita lihat dari ’kaca mata’ ini, saya mendapat kesan pendidikan watak di sekolah kita benar-benar kacau dan amburadul, terkesan kita tidak benar sunguh-sungguh melaksanakan pendidikan watak. Marilah kita lihat, berapa mata pelajaran yang diujikan dalam UAN (terlepas pro dan kontra terhadap UAN), hanya tiga mata pelajaran, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah menganggap pendidikan watak bagi bangsa kita ini tidak penting?, kalau kita tanya kepada guru tentang pendidikan watak, mereka akan menjawab ‘soal-soal tentang karakter/watak kan tidak ditanyakan dalam UAN mengapa menghabiskan waktu untuk yang tidak perlu”. Kebijakan pendidikan kita telah ‘menganak tirikan’ (kalau tidak boleh dikatakan menguburkan) pendidikan watak.

Jadi... Jangan ngomong lagi tentang pendidikan watak.... Jangan Ngomong Lagi tentang Nation and Caracter Building..., karena kita sendiri yang telah mencampakkanya dalam tong sampah…untuk jadi santapan anjing !!!

Sebuah syair lagu Iwan Fals, yang menemani saya ketika menulis hal ini, patut jadi renungan....

Jangan Bicara Soal Nasionalisme...
.....................................................

Jangan Bicara Soal Keadilan....
....................................................

Marilah Kita Bicara Tentang.....

...................................................
Kita yang Lupa dengan Warna Bendera Kita Sendiri..


Bagaimana Menurut Sampean??...



Salam.
Baskoro Adi Prayitno

Srondol Semarang 11 Februari 2009
Pukul: 24.45
Dedicated To My Angel



Selasa, 06 Januari 2009

LAWAN KONDOMISASI GENERASI MUDA

LAWAN KONDOMISASI GENERASI MUDA...!!!


Tanggal 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia (HAS). Seperti tahun lalu, tahun 2008 ini KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional), BKKBN , dan DKT Indonesia dengan didukung oleh pemerintah dalam hal ini Menkokesra RI memperingatinya dengan menyelenggarakan “Pekan Kondom Nasional”. Kegiatan ini konon bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang penggunaan kondom sebagai alat Kesehatan dalam mengatasi penyebaran penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS.

Namun apakah kampanye memperkenalkan kondom yang sudah menjadi tradisi tahunan ini adalah langkah yang tepat untuk mengurangi penyebaran virus HIV/AIDS yang mematikan tersebut?

LAWAN KONDOMISASI GENERASI MUDA

Setiap satu jam, seorang pemuda di Indonesia terjangkit HIV. Demikian menurut data Komisi Penanggulangan AIDS NAsional (KPAN). Menurut estimasi Departemen Kesehatan, hingga September 2008, jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sudah mencapai 21.151 kasus, yang terdiri dari 15.136 kasus AIDS dan 6.015 kasus HIV. Proporsi kelompok umur tertinggi kasus AIDS adalah pada usia 20-29 tahun sebesar 51,1%. Proporsi terbanyak pada kurun usia 20-29 tahun tersebut, mengimplikasikan bahwa terjadi transmisi dan penularan virus HIV pada kurun waktu 5-10 tahun sebelumnya yaitu pada usia 10-19 tahun. Data ini tentu sangat memprihatinkan, karena generasi muda yang berusia produktif paling rawan terhadap penularan virus yang sangat mematikan ini. Bila pemerintah dan kita sebagai elemen masyarakat tidak mengambil langkah yang tepat untuk menghentikan penyebaran virus yang saat ini sudah menjangkiti 32 propinsi yang ada di Indonesia, maka ke depan Indonesia akan mengalami “Lost Generations”.

Memperingati Hari AIDS Sedunia (HAS) yang jatuh pada tanggal 1 Desember, KPAN, BKKBN, DKT Indonesia menggelar Pekan Kondom Nasional yang diadakan pada tanggal 1-7 Desember 2008. Kegiatan ini diawali dengan Konferensi Kondom pada tanggal 1 Desember 2008 di Hotel JW Marriot yang dibuka oleh Menkokesra, Ir. H. Aburizal Bakrie. Acara ini diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang penggunaan kondom sebagai alat kesehatan dalam mengatasi penyebaran Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV.

Namun, apakah kampanye memperkenalkan kondom yang sudah menjadi tradisi tahunan ini adalah langkah yang tepat untuk mengurangi penyebaran HIV/AIDS yang mematikan tersebut? Jawabannya adalah SAMA SEKALI TIDAK

Kampanye seperti ini justru bisa menimbulkan pemahaman yang salah terhadap penggunaan kondom yang nantinya malah meningkatkan penyebaran penyakit yang sudah menjangkiti 194 kabupaten di Indonesia.

Kondom tidak akan berpengaruh pada pengurangan penyebaran virus HIV/AIDS, karena:

  • Proses penularan virus HIV tertinggi adalah melalui penggunaan napza suntik (49,1 %) dan hubungan seksual 46,2 % (heteroseksual 42,1 % dan homoseksual 4,1 %). Jadi narkoba dan perilaku seks bebas adalah penyebab utama penyakit ini terus menyebar dan berkembang pesat di Indonesia;
  • Ukuran pori-pori kondom yang lebih besar dari ukuran virus HIV. Hasil penelitian mengenai ukuran kondom dan virus ini sebenarnya sudah tersebar luas. Namun ternyata tidak menjadi perhatian atau mungkin sengaja diabaikan oleh para aktifis penanggulangan HIV/AIDS. Data menunjukkan bahwa ukuran pori kondom adalah 1/60 mikron (dalam keadaan tidak merenggang) menjadi 1/6 mikron dalam keadaan merenggang. Sedangkan ukuran virus HIV/AIDS adalah 1/250 mikron. Virus HIV/AIDS bias sangat leluasa untuk menembus kondom.
Ketidakamanan kondom ini juga sudah diserukan oleh berbagai pihak di antaranya Ketua Gereja Khatolik Mozambique (Sep 2007), Gereja Katholik Vatikan, Alfonso Lopez Trujillo seorang cardinal senior dari Vatikan (2003) yang menyerukan bahwa kondom tidak aman bahkan kondom menyebabkan AIDS.

APA YANG HARUS KITA LAKUKAN

Terkait pencegahan HIV/AIDS, langkah-langkah berikut seyogyanya yang harus kita lakukan

  • Bersama-sama “memutus mata rantai” penularan virus HIV/AIDS dengan melarang NARKOBA dan SEKS BEBAS serta menindak tegas pengguna NARKOBA dan pelaku SEKS BEBAS;
  • “Mengkarantina” dan membuat prosedur yang benar untuk proses pengobatan orang-orang yang sudah positif terinfeksi HIV/AIDS;
  • Memberikan penjelasan yang transparan dan benar mengenai kondom, bahwa kondom dirancang untuk alat kontrasepsi, bukan dirancang sebagai alat untuk pencegahan virus HIV/AIDS sehingga adalah tidak benar dan menyesatkan kalau kondom dapat mencegah HIV/AIDS;
  • Menolak promosi kondom dengan menbagi-bagikan secara gratis ke tengah-tengah masyarakat, terutama ke sekolah-sekolah yang nantinya akan mendorong perilaku seks bebas;
  • Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan HIV/AIDS tidak perlu menggunakan inform concern.


PENGGALANGAN DANA UNTUK PALESTINA

PENGGALANGAN DANA UNTUK PALESTINA


Mohon rekans sekalian untuk dapat membantu penggalangan dana dan dukungan bagi penduduk Gaza di bawah ini. Mohon pesan ini disebarkan ke seluruh rekans sekalian. Semoga Allah Yang Maha Kaya dan Pemurah membalas kebaikan rekan sekalian dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga penduduk Gaza segera terlepas dari bencana yang teramat mengerikan ini.

Pada hari sabtu 3 Januari 2009, pemerintahan apartheid zionist Israel memperluas serangan terhadap Gaza dengan melakukan serangan darat menggunakan tenk-tank Merkava dan persenjataan cangih lainnya buatan Amerika Serika. Hingga 4 Januari 2009 terhitung lebih dari 500 penduduk Gaza meninggal dan lebih dari 2400 terluka.

MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) sejak akhir Desember 2008 lalu telah membuka layanan SMS Donasi melalui nomor 7505, dan per tanggal 29 Desember 2008 seluruh donasi yang masuk melalui SMS 7505 akan diberikan seluruhnya untuk Palestina.

Semakin gentingnya krisis kemanusian di bumi Palestina menuntut kita manusia yang memiliki hati nurani untuk terus meningkatkan usaha kita dalam membantu penduduk Gaza yang berada diambang kepunahan akibat genosida apartheid zionist Israel.

Donasi untuk Palestina kini bisa dilakukan melalui SMS, caranya:
ketik:
MERC(spasi)PEDULI

kirimkan ke: 7505 (semua operator)

Program sms donasi ini merupakan layanan yang disediakan oleh Departemen Sosial RI bekerjasama dengan sejumlah operator seperti Telkomsel, Indosat, Flexi, Esia, XL dan Mobile-8. Untuk Telkomsel, Indosat, Flexi, Esia, tarif sms adalah Rp 6.600,- sudah termasuk donasi Rp 5.000,- ditambah biaya operator dan PPn. Sementara untuk pengguna XL dan mobile-8 tarif sms adalah Rp 5.000,- sudah termasuk donasi Rp 3.750,- ditambah biaya operator dan PPn.

info selengkapnya mengenai program ini dapat dilihat di:
http://www.mer- c.org atau
http://donasi. depsos.go. id/news/gen/ 495d8e4a. htm

Atau bagi anda yang ingin menyumbangkan sejumlah dana bagi Palestinga dapat langsung menyetorkan ke rekening di bawah ini:

MER-C (Medical Emergency Rescue Committee)

Bank Muamalat Indonesia (BMI)
a.n. MER-C
Rek. No. 301.00521.15

Bank Central Asia (BCA)
a.n. Medical Emergency Rescue Committee
Rek. No. 686.0153678

Bank Syariah Mandiri (BSM)
a.n Medical Emergency Rescue Committee
Rek. No. 009.0121.773

Mohon bantuan dari rekan-rekan sekalian untuk menyebarkan informasi ini agar makin banyak orang yang bisa kita libatkan dalam membantu meringankan penderitaan penduduk Gaza.

MER-C
Medical Emergency Rescue Committee

adalah sebuah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis dan bertujuan memberikan pelayanan medis untuk korban perang, kekerasan akibat konflik, kerusuhan, kejadian luar biasa, dan bencana alam di dalam maupun di luar negeri. Organisasi yang berasaskan Islam dan berpegang pada prinsip rahmatan lil'aalamiin serta mempunyai sifat amanah, profesional, netral, mandiri, sukarela, dan mobilitas tinggi.

Profil lengkap beserta alamat dan kontak organisasi kemanusiaan ini dapat dilihat di website http://www.mer- c.org