Kamis, 20 November 2008

SEBUAH CATATAN KEPRIHATINAN TERHADAP SDM YANG BERMUTU DAN BERDAYA SAING

SEBUAH CATATAN KEPRIHATINAN
TERHADAP SDM YANG BERMUTU DAN BERDAYA SAING


Oleh:

Cak Baskoro Adi Prayitno

Kondisi di atas memaksa dosen mencari cara untuk tetap dapat “melanjutkan hidupnya”, ada banyak cara yang dilakukan, dari cara yang halal sampai tidak halal. Cara halal misalnya banyak dosen bekerja di sektor lain, dulu sewaktu saya masih di PTS kami sering menggoda salah satu kawan dosen, “kamu ini dosen yang berprofesi pemulung atau pemulung yang berprofesi dosen”, soalnya ada kawan dosen PTS saya mampu membeli rumah dan mobil, bukan dari hasil sebagai dosen, tetapi dari hasil usaha dia menjadi bos pemulung. Tidak sedikit pula dosen yang mengambil jalan pintas “melacurkan” idealisme dengan “mallpraktek akademik” seperti jual beli nilai, permainan dosen dan mahasiswa dalam pembuatan tugas akhir/skripsi



PENGANTAR

Hari ini, tidak banyak pekerjaan di kantor, setelah ngawas UTS, saya habiskan waktu sekedar search artikel di Internet, secara kebetulan saya menemukan sebuah tulisan lama dari Prof. Mungin dari Unnes yang dimuat di harian Suara Merdeka Senin 3 februari 2003. Sebuah tulisan yang sangat bagus dan inspiratif, beliau memberi judul tulisannya “Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas” (teks asli beliau dapat sampean baca di http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2003-February/000585.html). Secara garis besar beliau berpendapat bahwa kata kunci dari keberhasilan perguruan tinggi agar tetap eksis di era pasar bebas terletak pada kekuatan sumber daya dosen (dosen yang bermutu) selain pembenahan kurikulum, perbaikan prasarana dan sarana, manajemen perguruan tinggi. Beliau juga mendefinisi operasionalkan apa yang dimaksud dengan dosen yang bermutu, menurut beliau ada lima faktor utama yang dapat dijadikan indicator kunci, yaitu 1) kemampuan profesional, 2) upaya profesional, 3) kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional, 4) kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan 5) kesejahteraan yang memadai.

Membaca tulisan Prof. Mungin, membuat saya termenung agak lama, hasil ketermenungan saya mengantarkan saya pada sebuah keprihatinan besar. Keprihatinan tersebut muncul dari pengalaman saya lebih dari tujuh tahun berkiprah dan ikut bergelut dalam detak dan irama beberapa perguruan tinggi swasta baik di Jawa maupun luar Jawa, ditunjang juga dari sekian banyak artikel dan tulisan dari berbagai jurnal dan media massa mengenai kondisi sebagian besar PTS di negara kita yang sangat jauh dari apa yang kita diharapkan. sementara itu di lain pihak sebagian besar lembaga tinggi di negara ini banyak dikelola oleh pihak swasta, sementara pemerintah cenderung ‘menganak tirikan’ kampus-kampus PTS, banyak dari PTS mengalami keadaan "hidup segan matipun enggan". Agaknya ‘angan-angan’ Prof. Mungin dalam jangka pendek sulit untuk diwujudkan. Pun demikian bukan berarti tidak bisa sama sekali diwujudkan. Tulisan ini dimaksudkan sekedar mengingatkan kita bahwa perguruan tinggi swasta (PTS) juga perlu diperhatikan oleh pemerintah bukan hanya perguruan tinggi negeri. bagaimanapun juga mereka mempunyai jasa yang sangat besar dalam usaha mencerdaskan anak bangsa.

SEBUAH KEPRIHATINAN

Sampean jangan apriori membaca sub judul di atas, mengawali sesuatu dari sebuah keprihatinan tidaklah selalu berkonotasi dengan sikap apriori dan kemunduran, yang kemudian berujung pada pengkonstruksian gagasan yang pesimistis produk dari sebuah keputuasaan. Mengawali dari sebuah keprihatinan harus diartikan sebagai bentuk refleksi diri guna perbaikan di masa yang akan datang, agar kita tidak terjebak dalam "lubang" yang sama.

Keprihatinan ini muncul dari pengalaman saya lebih dari tujuh tahun berkiprah di beberapa perguruan tinggi swasta, baik di jawa maupun luar jawa, selain itu juga ditunjang oleh banyak tulisan dari berbagai media massa mengenai kondisi PTS di Indonesia. Beberapa keprihatinan yang muncul selama mengabdikan diri di perguruan tinggi swasta (PTS), secara garis besar dapat dikaji dari dua isyu berikut; banyak PTS tidak mampu memberikan dukungan financial yang layak utuk dosen dan pengembangan dosen, dan lemahnya manajemen PTS

Banyak PTS tidak Mampu Memberikan Dukungan Finansial yang layak bagi dosen dan Pengembangan Dosen

Sampean yang tidak pernah bergelut di perguruan tinggi swasta (PTS), mungkin menganggap bahwa PTS telah mendholimi dosen, dengan memberikan gaji dosen jauh dari standard hidup yang layak, dalam kasus-kasus tertentu mungkin benar. Sebagian besar PTS tidak dapat memberikan dukungan financial yang layak bukanlah didasari unsur kesengajaan, tetapi semata-mata didasari atas keterbatasan financial yang dimiliki oleh perguruan tinggi swasta, bukan rahasia umum bahwa PTS tumbuh dan merintis eksistensinya nyaris tanpa bantuan dari pihak manapun, mereka hanya mengandalkan sumber financial dari kantong mahasiswa, hidup matinya PTS ditentukan oleh fluktuasi jumlah mahasiswa, banyak PTS berjuang bertahan untuk tetap eksis dengan segala keterbatasan, keadaan seperti ini akan berimplikasi terhadap mutu layanan PTS dalam mencetak SDM bangsa yang bermutu dan berdaya saing. bahasa jawa timuranya mengurus urusan internalnya saja sulit, apalagi menghasilkan produk luaran yang bermutu dan berdaya saing...

Kekurangan financial yang dialami oleh sebagian besar PTS ini akan mengakibatkan efek domino, bukan rahasia umum, banyak dosen sampai berbulan-bulan belum mendapat gaji, sekalipun gaji tersebut merupakan satu-satunya sandaran hidup dia dan keluarganya. Status dosen tetap yayasan dan dosen tidak tetap yayasan bukan jaminan terhadap kesejahteraan dosen. Dosen yang berstatus dosen tetap yayasan biasanya menerima honor tiap bulan, namun besarannya relatif kecil (sebagai gambaran gaji saya dulu dengan status dosen tetap di sebuah PTS mendapatkan gaji 325.000/bulan, coba bayangkan bagaimana bisa hidup dengan satu istri dan satu anak). Lebih memprihatinkan lagi kondisi dosen luar biasa, mereka biasanya memperoleh gaji secara rapelan dalam satu semester, dengan jumlah ditentukan oleh banyaknya sks yang mereka ampu.

Kondisi di atas memaksa dosen mencari cara untuk tetap dapat “melanjutkan hidupnya”, ada banyak cara yang dilakukan oleh dosen dari cara yang halal sampai tidak halal. Cara halal misalnya banyak dosen bekerja di sektor lain, dulu sewaktu saya masih di PTS kami sering menggoda salah satu kawan dosen, “kamu ini dosen yang berprofesi pemulung atau pemulung yang berprofesi dosen”, soalnya ada kawan dosen PTS saya mampu membeli rumah dan mobil, bukan dari hasil sebagai dosen tetapi dari hasil usaha dia menjadi bos pemulung. Tidak sedikit pula dosen yang mengambil jalan pintas “melacurkan” idealisme dengan “malpraktek akademik” seperti jual beli nilai, permainan dosen dan mahasiswa dalam pembuatan tugas akhir/skripsi, di mana dosen dalam membantu mahasiswa terkadang melampaui batas kewenangannya dengan melakukan peran ganda yaitu selain menjadi pembimbing juga penyusun naskah-naskah skripsi mahasiswa. Dengan cara itu, dosen bersangkutan dapat menambah penghasilan, sementara mahasiswa tidak perlu bersusah payah menyusun skripsi; asalkan mereka memiliki uang, mereka dapat membayar biaya pembuatan skripsi walapun tanpa menguasai isi skripsinya atau belajar menguasai isinya dengan bimbingan dosen yang nantinya juga menjadi salah satu pengujinya. Keadaan ini (strategi dosen bertahan hidup dengan cara halal atau tidak halal) akan berimplikasi terhadap mutu SDM yang dihasilkan sebuah perguruan tinggi, keadaan yang memaksa dosen mencari penghasilan di luar profesionalitasnya menyebabkan terjadinya dis-orientasi dalam sistem pengajaran, di mana pengajaran dilaksanakan secara serampangan. Apa lagi memikirkan melakukan riset yang berkaitan dengan disiplin keilmuannya, atau meng-update pengetahuannya dengan konteks kekinian, atau upaya lain sebagai pengabdian dan kontribusinya bagi keilmuan maupun masyarakat. Tidak ada waktu...!, SDM berdaya saing? Jauh panggang dari api....


Lemahnya Manajemen PTS

Sebagian besar manajemen pengelolaan PTS belum terbentuk, tersistem dan terlaksana dengan baik, menurut pengalaman penulis selama mengabdi di sebuah PTS meskipun kuantitas mahasiswa terus meningkat namun tidak banyak ‘berdampak’ kepada kondisi internal PT, berbagai ketimpangan terjadi dimana-mana, biasanya rektorat menerapkan manajemen kepemimpinan yang sentralistik dan kaku dengan alasan ini sudah keputusan yayasan, keadaan ini mengakibatkan struktur di bawahnya tidak bisa mengembangkan diri dengan optimal, akibat dari hal ini biasanya pengembangan mutu dosen dan layanan akademik menjadi terganggu, dalam kondisi seperti ini secara teoritis menyebabkan segelintir pihak mendapat keuntungan besar di pihak yang lain dalam posisi terpuruk yang tidak berkesudahan, keadaan ini menyebabkan atmosfer akademik dalam sebuah PT terganggu. jika atmosfer akademik tidak kondusif suasana kerja dan belajar menjadi terganggu, antar dosen saling mencurigai, bawahan tidak percaya pada atasan, dll. hal ini akan berdampak pada mutu luaran PT.

Banyak dari dosen di PTS dapat melanjutkan studinya (S2 dan S3) bukan karena dibiayai oleh PT, namum dari usaha ‘kelincahan’ dosen pribadi dalam mencari peluang beasiswa, bahkan ketika seorang dosen berhasil melanjutkan studi lanjut, tidak sedikit PTS yang tidak memberikan kontribusi apapun pada dosennya yang sedang studi lanjut (banyak dari kawan dosen saya di PTS, gaji bulanan tidak dikirim setelah melanjutkan studi, dengan alasan sudah mendapat beasiswa), mengapa permasalahan ini muncul? Menurut hemat saya berawal dari kedua akar masalah yang saya sebutkan sebelumnya (lemahnya financial dan manajemen)

Kelemahan manajemen juga berdampak terhadap ketidakmampuan lembaga pendidikan tersebut dalam memberikan pelayanan bagi dosen terkait pengembangan dan promosi jabatannya. Dosen-dosen relatif tidak mampu mengembangkan jabatannya berupa kenaikan pangkat dan keperluan profesional lainnya selain disebabkan terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang bersangkutan, juga disebabkan rendahnya perhatian PTS dalam memberikan fasilitasi bagi dosen-dosen tersebut untuk berkembang sehingga para dosen cenderung “mentok” pada jabatan sebagai “asisten ahli” saja, atau dengan kata lain pangkat ketika baru bekerja sama dengan kondisi di saat dosen tersebut telah mengabdi selama puluhan tahun.

Kesemua keadaan ini membuat kita prihatin (paling tidak saya), SDM bermutu dan berdaya saing....????


SOLUSI PEMECAHAN??? SAMPEAN PUNYA SARAN....???