Senin, 14 Juli 2008

PERLUNYA REKONSTRUKSI PROGRAM AKSI
KESETARAAN GENDER


Oleh:

Cak Baskoro Adi Prayitno



Ketika perempuan mempunyai kesadaran, sikap yang benar mengenai kesetaraan gender dan kemudian diimplemtasikan dalam bentuk perilaku dalam kehidupannya akan dianggap sebagai ’pemberontakan’ perempuan oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu diperlukan rekonstruksi program aksi dari perempuan oriented bergeser pada laki-laki oriented


PENGANTAR
Hari ini saya minta ijin pada ketua program studi untuk tidak ngantor karena ada kegiatan seminar di Malang. Saya sengaja berangkat agak pagi dari Surakarta dengan menggunakan Bus Eka, harapan saya tidak terlalu malam sampai di Malang. Di dalam bus kebetulan saya satu kursi dengan seorang wanita muda dan kelihatan energik, rupanya dia ini seorang aktifis perempuan yang lumayan terkenal. Kami ngobrol ngalor ngidul namun paling banyak topik pembicaraan kami tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki. Saya hanya menempatkan diri sebagai ‘pendengar setia’ dengan sesekali menimpali, karena terus terang, sebenarnya saya tidak banyak mengerti dan tahu mengenai per-genderan ini.

Dari cerita ‘tokoh kita’ ini, saya dapat menyimpulkan seolah-olah dia ‘menghakimi’ saya, sebagai wakil dari laki-laki (pada saat itu kebetulan saya duduk di sisinya) sebagai satu-satunya ’tertuduh’ yang harus ’bertanggungjawab penuh’ terhadap keterpurukan perempuan di masa lalu dan saat ini. Dia juga bercerita tentang kegiatan-kegiatannya selama ini dalam ‘menyadarkan’ perempuan tentang hak-haknya, serta akibat-akibat yang dihadapinya, seperti diancam akan dibunuh oleh seorang laki-laki gara-gara ‘membela’ seorang wanita korban perkosaan. Di intimidasi oleh suami wanita yang didampingi karena KDRT. Terus terang, saya luar biasa kagum dengan teman satu bangku dalam perjalanan saya hari ini.

Sesampai di Malang saya merenung sejenak, ”apakah benar ‘laki-laki’ harus bertanggungjawab terhadap keterpurukan perempuan?”, ”mengapa kegiatan ‘penyadaran’ perempuan akan hak-haknya seringkali mendapatkan ‘perlawanan’ dari kaum laki-laki dan masyarakat?”. Dengan ‘cara berpikir laki-laki’ saya mencoba mencari jawaban pertanyaan pertama, agaknya laki-laki tidak bisa dipersalahkan seluruhnya, karena sikap laki-laki pada jaman dulu dan sebagian pada masa sekarang sesungguhnya dibentuk oleh lingkungan dan budaya dimana mereka dibesarkan. Jawaban pertanyaan yang kedua ‘rupanya’ kegiatan penyadaran gender selama ini titik tekannya lebih terorientasi pada perempuan. Sehingga menimbulkan penolakan pada sisi laki-laki. Selain itu kunci sukses keberhasilan program ’penyetaraan’ perempuan dan laki-laki adalah keberhasilan dalam mendispute produk lingkungan dan budaya masyrakat yang dianggap keliru. Produk lingkungan dan budaya masyarakat dimaksud adalah sikap dan perilaku masyarakat terhadap perempuan. .

LINGKUNGAN DAN BUDAYA MASYARAKAT
Menyalahkan laki-laki sebagai ’biang kerok’ ketidak setaraan gender agaknya kurang bijaksana, demikian juga menyalahkan perempuan yang terlalu ’nrimo’ terhadap ’dominasi’ laki-laki juga kurang bijaksana. Karena sikap dan perilaku demikian sesungguhnya sebagian besar dibentuk oleh lingkungan dan budaya masyarakat. Seperti kita ketahui bersama hampir disemua wilayah di negara kita lingkungan dan budaya masyarakat menempatkan laki-laki lebih ’superior’ di bandingkan dengan perempuan, ada anggapan umum bahwa perempuan hanya berurusan dengan dapur, kasur dan sumur alias urusan-urusan domestik. Bahkan seandainya pun seorang suami mengijinkan istrinya bekerja untuk membantu mencari nafkah, ’kewajiban’ di atas (dapur, sumur, kasur) tetap menjadi urusan istri (perempuan), memang terasa sangat tidak adil, beban perempuan menjadi berlipat.

Jika hal tersebut ’dilanggar’ ada anggapan ’tidak resmi’ di masyarakat bahwa laki-laki tersebut dikelompokkan dalam golongan lelaki takut istri, anggapan ini terbentuk dari lingkungan dan budaya masyarakat. Terkait dengan hal ini saya teringat pada cerita sahabat saya, dia terancam bercerai dengan suaminya gara-gara permasalahan ini. Ceritanya sebagai berikut, sahabat saya ini seorang perempuan, bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Malang, semasa lajang dia mengenyam pendidikan S2 di Amerika Serikat, setelah pulang studi sahabat saya ini menikah dengan seorang laki-laki yang kebetulan juga kawan saya, seorang guru SMA negeri di Malang. Suatu hari karena kesibukannya sahabat perempuan saya meminta suaminya memasak dan mencuci pakaian. Si suami sebenarnya tidak berkeberatan. Ketika si suami mencuci pakaian, tiba-tiba ibu dan bapak si suami datang, melihat anaknya sedang mencuci pakaian sedangkan istri anaknya sedang ’membaca buku’, marah besarlah mereka, semua sumpah serapah khas jawa timuran keluar dengan fasih dari mulut ibu dan bapak si suami. Mereka menganggap menantunya telah menginjak ’harga diri’ anaknya sebagai laki-laki. Ujung-ujungnya mereka mendesak anak laki-lakinya menceraikan sahabat perempuan saya ini, dan sampai sekarang permasalahan ini masih belum selesai.

Mengapa permasalahan ini muncul?, siapa yang salah dalam hal ini?, kalau kita mau berpikir secara ’jernih’ kita bisa menyalahkan atau membenarkan sahabat saya yang meminta suaminya memasak dan mencuci pakaian, kita juga dapat menyalahkan atau membenarkan Ibu dan Bapak suami sahabat saya yang menganggap sahabat perempuan saya telah ’menginjak-injak’ harga diri kelelakian anaknya. Semua tergantung dari ’kaca mata’ mana kita melihat. Sahabat perempuan saya menganggap apa yang ia lakukan pada suaminya bukan dimaksudkan untuk ’menginjak-injak’ kelelakian suaminya (paling tidak itu yang diceritakan saat curhat pada saya), bagi sahabat perempuan saya, laki-laki dan perempuan itu ’sejajar’ ada urusan-urusan yang merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri, seperti memasak, mencuci, merawat anak, dsb. Ada juga urusan yang berkaitan dengan ’kodrat’ perempuan sebagai perempuan seperti melahirkan dan menyusui anak. Sedangkan di kubu lain yang berlawanan (Bapak dan Ibu suami sahabat perempuan saya) apa yang dilakukan sahabat perempuan saya kepada suaminya ini, jelas-jelas tontonan vulgar tentang adegan ’pelecehan’ kelelakian anaknya, karena budaya dan lingkungan mereka mengajarkan bahwa memasak dan mencuci pakaian adalah tugas seorang istri bukan suami. Nah...jadi repotkan...

Ada cerita lain tentang sahabat laki-laki saya, saat ini beliau bersama-sama dengan saya sedang berjuang menyelesaikan program doktor, beliau bercerita sambil tertawa-tawa, sejak istrinya aktif di organisasi Darmawanita di kampusnya, sekarang istrinya sudah tidak mau lagi membuatkan kopi setiap pagi, karena istrinya menganggap membuat kopi bukanlah kewajiban seorang istri, akhirnya sahabat saya ini sering uring-uringan di rumah.

Mencermati dari beberapa contoh kasus yang dialami sahabat saya agaknya diperlukan rekonstruksi dalam program ’penyetaraan’ perempuan dan laki-laki.

REKONSTRUKSI PROGRAM AKSI
Program Aksi Tidak Hanya Perempuan Oriented Tetapi yang Lebih Penting adalah Laki-Laki Oriented

Saya tidak terlalu expert dalam kegiatan per-genderan, namun dari pengamatan saya, selama ini program aksi ’penyadaran’ kesetaraan gender rupanya lebih menitik beratkan pada program penyadaran perempuan tentang hak-haknya mengenai kesetaraan dengan laki-laki. Program ini dianggap tepat karena sesuai dengan sasaran aksi yaitu sikap dan perilaku yang benar oleh perempuan tentang kesetaraan gender. Namun demikian, bukan berarti hal ini tidak mengakibatkan dampak negatif, program aksi yang hanya terorietasi pada perempuan namun melupakan sisi laki-laki hanya akan menimbulkan masalah baru. Ketika perempuan mempunyai kesadaran, sikap yang benar mengenai kesetaraan gender dan kemudian diimplementasikan dalam bentuk perilaku dalam kehidupannya akan dianggap sebagai ’pemberontakan’ perempuan oleh kaum laki-laki. Agaknya cerita kawan satu kursi dalam seperjalanan saya ke malang (yang saya ceritakan sebelumnya) adalah produk dari program aksi yang lebih women oriented.

Untuk meminimalisir terjadinya ’pertempuran’ antara kaum perempuan dan laki-laki mengenai hal ini, agaknya mendesak diperlukan rekonstruksi program aksi dari perempuan oriented bergeser pada laki-laki oriented. Mengapa saya berpikir demikian?, budaya dan lingkungan kita menempatkan laki-laki lebih ’superior’ dari pada perempuan, menurut hemat saya yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah ’menyadarkan’ para laki-laki ini, bahwa sesungguhnya mereka tidak lebih tinggi (setara) dengan perempuan. Jika program aksi ini berhasil dengan baik maka para laki-laki otomatis akan memberikan hak-hak perempuan yang telah ’dirampasnya’ karena tuntutan lingkungan dan kebudayaan tentunya.

Kunci Keberhasilan Program Aksi Adalah Mendispute Produk Lingkungan dan Budaya Pada Masyarakat yang Dianggap Tidak Benar

Menurut hemat saya kunci keberhasilan program aksi adalah terletak pada berhasil tidaknya para aktivis gender dalam mendispute produk lingkungan dan budaya masyarakat yang tidak benar dalam memandang perempuan, hal ini tercermin pada sikap dan perilaku masayarakat terhadap perempuan. Merubah hasil lingkungan dan budaya yang sudah menjadi sikap dan perilaku yang menetap bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan program aksi yang bukan hanya sekedar terorientasi pada pengetahuan saja, karena secara teoritis pengetahuan tidak banyak sumbangan efektifnya terhadap sikap dan perilaku, apa lagi sikap dan perilaku tersebut sudah menetap dalam jangka waktu yang lama dan bahkan telah diyakini sebagai sebuah kebenaran.

Dalam teori pendidikan yang saya dalami, sebenarnya kita dapat merubah persepsi, sikap dan perilaku siswa mengenai sebuah miskonsepsi yang telah diyakini kebenarannya oleh siswa, yaitu dengan menghadapkan (mengcounter) anggapan keliru siswa dengan anggapan yang benar, misalkan anggapan keliru bahwa HIV/AIDS adalah penyakit kutukan bagi orang yang berdosa, kita dapat menghadaptkan pada siswa tentang fakta lain misalnya, ada bayi yang tidak berdosa tertular HIV karena Ibunya mengidap HIV dan ibunya ini sebenarnya orang baik yang tertular oleh suaminya yang nakal. Para ahli pendidikan biasa menyebutnya dengan nama konflik kognitif. Menurut hemat saya cara-cara semacam ini dapat diadopsi dalam kegiatan program aksi daripada sekedar penyuluhan yang hanya terorientasi pada pengetahuan.

Dan satu lagi, mungkin kita harus mau belajar dengan ’Pak Harto’ tentang keberhasilan kampanye keluarga berencana yang berhasil mendispute anggapan, sikap dan perilaku masyarakat yang meyakini bahwa dengan banyak anak banyak rejeki, kemudian lewat program Keluarga Berencana (KB) angggapan tersebut dapat ’dijugkir balikkan’ dengan mudah. Kunci keberhasilan dari program ini adalah pelibatan tokoh-tokoh masyarakat, seperti kiai-kiai dll.



Malang, Awal Juli 2008