Selasa, 02 Desember 2008

ASESMENT = EVALUASI ?


ASSESMENT = EVALUASI ?


Oleh:

Baskoro Adi Prayitno



Bagi kita yang sehari-hari 'bergelut' dalam kluster pendidikan dapat dipastikan tidak asing lagi mendengar, membaca, membicarakan, menulis, atau bahkan mempresentasikan dalam sebuah seminar-seminar kajian tentang autentic assesment. Sedemikian terbiasanya, sering kali kita lupa 'landasan berpijak' kita. Seiring terbiasanya kita mengkaji autentic assesment, semakin jarang kita membicarakan evaluasi. Kelupaan kita pada 'landasan berpijak' dikuatirkan diantara kita 'menyangka' bahwa assesment secara utuh representasi dari evaluasi atau bahkan sering kita menganggap assesment sama dengan evaluasi. Atau memang Assesment sama dengan Evaluasi?




SEBUAH PENGANTAR

Beberapa hari yang lalu saya menjemput istri saya, yang sedang kuliah di program Pascasarjana UM Malang. Rupanya saya terlampau cepat sampai di kampus UM, saya lupa kalau jam di HP, saya set lebih cepat 15 menit dari seharusnya. Akhirnya saya putuskan menunggu Dia di Lobi PPS, sambil menghabiskan sisa rokok yang tinggal 4 isapan (he..he..). Di seberang saya duduk beberapa orang yang rupanya mahasiswa PPS, mereka sedang asik mengobrol atau lebih tepatnya mendiskusikan konsep autentic assesment. Sifat suka iseng saya muncul, suka menguping pembicaraan orang (he..he..), dari pembicaraan mereka, saya bisa menarik kesimpulan bahwa mereka mempunyai persepsi bahwa assesment sama dengan evaluasi. Namun benarkah assesment dapat dipersamakan dengan evaluasi?

Bagi kita yang sehari-hari 'bergelut' dalam kluster pendidikan dapat dipastikan tidak asing lagi mendengar, membaca, membicarakan, menulis, atau bahkan mempresentasikan dalam sebuah seminar-seminar kajian tentang autentic assesment. Sedemikian terbiasanya sering kali kita lupa 'landasan berpijak' kita. Seiring terbiasanya kita mengkaji autentic assesment, semakin jarang kita membicarakan evaluasi. kelupaan kita pada 'landasan berpijak' dikuatirkan diantara kita 'menyangka' bahwa assesment secara utuh representasi dari evaluasi atau bahkan sering kita menganggap assesment sama dengan evaluasi.


Tulisan kali ini, dimaksudkan sekedar mengingatkan kita tentang konsep assesment, test dan evaluasi, dengan harapan kita dapat 'mendudukkan' kembali konsep tersebut pada tempatnya yang tepat, sehingga kita dapat menyikapinya dengan tepat pula.


ASSESMENT, TEST DAN EVALUASI

Dari sub judul di atas kita pasti mengenal istilah-istilah tersebut (assesment, test dan evaluasi). Kalau saya mencoba bertanya, "apa beda di antara ketiganya?", barangkali banyak di antara kita cenderung mengartikan ketiga konsep tersebut sebagai suatu pengertian yang sama, sehingga dalam pemakaiannya sering kali kita mempertukarkan secara tidak sadar.

Sebenarnya bila kita mau mencermati, ketiga konsep tersebut tidaklah sama, Menurut Hart, assesment adalah proses mengumpulkan informasi tentang peserta didik, berkenaan dengan apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka lakukan. Terkait dengan hal ini, banyak cara yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi, misalnya dengan cara mengamati peserta didik belajar, menguji apa yang mereka hasilkan, mengkaji pengetahuan, mengkaji ketrampilan mereka. Kata kunci terkait dengan assesment adalah 'bagaimana kita dapat menemukan/mengumpulkan informasi peserta didik?'.

Sedangkan test, masih menurut Hart adalah suatu cara assesment. Dalam hal ini secara sederhana dapat diartikan test adalah alat pengukuran yang digunakan untuk 'mendokumentasikan' pembelajaran peserta didik, sedangkan evaluasi adalah sebuah proses penafsiran (interpretasi), serta pembuatan keputusan berkenaan dengan informasi assesment. Dengan demikian dalam batas konsep assesment, data assesment sebenarnya belum dapat dinyatakan (diartikan) baik atau tidak baik. Ringkasnya data assesment mencerminkan apa yang 'terekam' di dalam kelas. Data assesment tidak mempunyai 'makna' apapun, data assesment baru bermakna bilamana kita memutuskan bahwa informasi tersebut merefleksikan sesuatu yang kita nilai, misalnya seberapa jauh peserta didik sudah menguasai materi pelajaran?.

Jadi sangat jelas bahwa assesment tidaklah sama dengan evaluasi.

Bagaimana Pendapat sampean?...


Di lain kesempatan kita akan 'mengobrol' lebih lanjut tentang autentic assesment, yang sering menjadi bahan perbicangan yang menarik seperti:


1. Assesment Autentic VS Assesment Non Autentic

2. Assesment Autentic VS Assesment ALternatif

3. Assesment Alternatif VS Assesment tradisional



Salam


Baskoro Adi Prayitno.

Kamis, 20 November 2008

SEBUAH CATATAN KEPRIHATINAN TERHADAP SDM YANG BERMUTU DAN BERDAYA SAING

SEBUAH CATATAN KEPRIHATINAN
TERHADAP SDM YANG BERMUTU DAN BERDAYA SAING


Oleh:

Cak Baskoro Adi Prayitno

Kondisi di atas memaksa dosen mencari cara untuk tetap dapat “melanjutkan hidupnya”, ada banyak cara yang dilakukan, dari cara yang halal sampai tidak halal. Cara halal misalnya banyak dosen bekerja di sektor lain, dulu sewaktu saya masih di PTS kami sering menggoda salah satu kawan dosen, “kamu ini dosen yang berprofesi pemulung atau pemulung yang berprofesi dosen”, soalnya ada kawan dosen PTS saya mampu membeli rumah dan mobil, bukan dari hasil sebagai dosen, tetapi dari hasil usaha dia menjadi bos pemulung. Tidak sedikit pula dosen yang mengambil jalan pintas “melacurkan” idealisme dengan “mallpraktek akademik” seperti jual beli nilai, permainan dosen dan mahasiswa dalam pembuatan tugas akhir/skripsi



PENGANTAR

Hari ini, tidak banyak pekerjaan di kantor, setelah ngawas UTS, saya habiskan waktu sekedar search artikel di Internet, secara kebetulan saya menemukan sebuah tulisan lama dari Prof. Mungin dari Unnes yang dimuat di harian Suara Merdeka Senin 3 februari 2003. Sebuah tulisan yang sangat bagus dan inspiratif, beliau memberi judul tulisannya “Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas” (teks asli beliau dapat sampean baca di http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2003-February/000585.html). Secara garis besar beliau berpendapat bahwa kata kunci dari keberhasilan perguruan tinggi agar tetap eksis di era pasar bebas terletak pada kekuatan sumber daya dosen (dosen yang bermutu) selain pembenahan kurikulum, perbaikan prasarana dan sarana, manajemen perguruan tinggi. Beliau juga mendefinisi operasionalkan apa yang dimaksud dengan dosen yang bermutu, menurut beliau ada lima faktor utama yang dapat dijadikan indicator kunci, yaitu 1) kemampuan profesional, 2) upaya profesional, 3) kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional, 4) kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan 5) kesejahteraan yang memadai.

Membaca tulisan Prof. Mungin, membuat saya termenung agak lama, hasil ketermenungan saya mengantarkan saya pada sebuah keprihatinan besar. Keprihatinan tersebut muncul dari pengalaman saya lebih dari tujuh tahun berkiprah dan ikut bergelut dalam detak dan irama beberapa perguruan tinggi swasta baik di Jawa maupun luar Jawa, ditunjang juga dari sekian banyak artikel dan tulisan dari berbagai jurnal dan media massa mengenai kondisi sebagian besar PTS di negara kita yang sangat jauh dari apa yang kita diharapkan. sementara itu di lain pihak sebagian besar lembaga tinggi di negara ini banyak dikelola oleh pihak swasta, sementara pemerintah cenderung ‘menganak tirikan’ kampus-kampus PTS, banyak dari PTS mengalami keadaan "hidup segan matipun enggan". Agaknya ‘angan-angan’ Prof. Mungin dalam jangka pendek sulit untuk diwujudkan. Pun demikian bukan berarti tidak bisa sama sekali diwujudkan. Tulisan ini dimaksudkan sekedar mengingatkan kita bahwa perguruan tinggi swasta (PTS) juga perlu diperhatikan oleh pemerintah bukan hanya perguruan tinggi negeri. bagaimanapun juga mereka mempunyai jasa yang sangat besar dalam usaha mencerdaskan anak bangsa.

SEBUAH KEPRIHATINAN

Sampean jangan apriori membaca sub judul di atas, mengawali sesuatu dari sebuah keprihatinan tidaklah selalu berkonotasi dengan sikap apriori dan kemunduran, yang kemudian berujung pada pengkonstruksian gagasan yang pesimistis produk dari sebuah keputuasaan. Mengawali dari sebuah keprihatinan harus diartikan sebagai bentuk refleksi diri guna perbaikan di masa yang akan datang, agar kita tidak terjebak dalam "lubang" yang sama.

Keprihatinan ini muncul dari pengalaman saya lebih dari tujuh tahun berkiprah di beberapa perguruan tinggi swasta, baik di jawa maupun luar jawa, selain itu juga ditunjang oleh banyak tulisan dari berbagai media massa mengenai kondisi PTS di Indonesia. Beberapa keprihatinan yang muncul selama mengabdikan diri di perguruan tinggi swasta (PTS), secara garis besar dapat dikaji dari dua isyu berikut; banyak PTS tidak mampu memberikan dukungan financial yang layak utuk dosen dan pengembangan dosen, dan lemahnya manajemen PTS

Banyak PTS tidak Mampu Memberikan Dukungan Finansial yang layak bagi dosen dan Pengembangan Dosen

Sampean yang tidak pernah bergelut di perguruan tinggi swasta (PTS), mungkin menganggap bahwa PTS telah mendholimi dosen, dengan memberikan gaji dosen jauh dari standard hidup yang layak, dalam kasus-kasus tertentu mungkin benar. Sebagian besar PTS tidak dapat memberikan dukungan financial yang layak bukanlah didasari unsur kesengajaan, tetapi semata-mata didasari atas keterbatasan financial yang dimiliki oleh perguruan tinggi swasta, bukan rahasia umum bahwa PTS tumbuh dan merintis eksistensinya nyaris tanpa bantuan dari pihak manapun, mereka hanya mengandalkan sumber financial dari kantong mahasiswa, hidup matinya PTS ditentukan oleh fluktuasi jumlah mahasiswa, banyak PTS berjuang bertahan untuk tetap eksis dengan segala keterbatasan, keadaan seperti ini akan berimplikasi terhadap mutu layanan PTS dalam mencetak SDM bangsa yang bermutu dan berdaya saing. bahasa jawa timuranya mengurus urusan internalnya saja sulit, apalagi menghasilkan produk luaran yang bermutu dan berdaya saing...

Kekurangan financial yang dialami oleh sebagian besar PTS ini akan mengakibatkan efek domino, bukan rahasia umum, banyak dosen sampai berbulan-bulan belum mendapat gaji, sekalipun gaji tersebut merupakan satu-satunya sandaran hidup dia dan keluarganya. Status dosen tetap yayasan dan dosen tidak tetap yayasan bukan jaminan terhadap kesejahteraan dosen. Dosen yang berstatus dosen tetap yayasan biasanya menerima honor tiap bulan, namun besarannya relatif kecil (sebagai gambaran gaji saya dulu dengan status dosen tetap di sebuah PTS mendapatkan gaji 325.000/bulan, coba bayangkan bagaimana bisa hidup dengan satu istri dan satu anak). Lebih memprihatinkan lagi kondisi dosen luar biasa, mereka biasanya memperoleh gaji secara rapelan dalam satu semester, dengan jumlah ditentukan oleh banyaknya sks yang mereka ampu.

Kondisi di atas memaksa dosen mencari cara untuk tetap dapat “melanjutkan hidupnya”, ada banyak cara yang dilakukan oleh dosen dari cara yang halal sampai tidak halal. Cara halal misalnya banyak dosen bekerja di sektor lain, dulu sewaktu saya masih di PTS kami sering menggoda salah satu kawan dosen, “kamu ini dosen yang berprofesi pemulung atau pemulung yang berprofesi dosen”, soalnya ada kawan dosen PTS saya mampu membeli rumah dan mobil, bukan dari hasil sebagai dosen tetapi dari hasil usaha dia menjadi bos pemulung. Tidak sedikit pula dosen yang mengambil jalan pintas “melacurkan” idealisme dengan “malpraktek akademik” seperti jual beli nilai, permainan dosen dan mahasiswa dalam pembuatan tugas akhir/skripsi, di mana dosen dalam membantu mahasiswa terkadang melampaui batas kewenangannya dengan melakukan peran ganda yaitu selain menjadi pembimbing juga penyusun naskah-naskah skripsi mahasiswa. Dengan cara itu, dosen bersangkutan dapat menambah penghasilan, sementara mahasiswa tidak perlu bersusah payah menyusun skripsi; asalkan mereka memiliki uang, mereka dapat membayar biaya pembuatan skripsi walapun tanpa menguasai isi skripsinya atau belajar menguasai isinya dengan bimbingan dosen yang nantinya juga menjadi salah satu pengujinya. Keadaan ini (strategi dosen bertahan hidup dengan cara halal atau tidak halal) akan berimplikasi terhadap mutu SDM yang dihasilkan sebuah perguruan tinggi, keadaan yang memaksa dosen mencari penghasilan di luar profesionalitasnya menyebabkan terjadinya dis-orientasi dalam sistem pengajaran, di mana pengajaran dilaksanakan secara serampangan. Apa lagi memikirkan melakukan riset yang berkaitan dengan disiplin keilmuannya, atau meng-update pengetahuannya dengan konteks kekinian, atau upaya lain sebagai pengabdian dan kontribusinya bagi keilmuan maupun masyarakat. Tidak ada waktu...!, SDM berdaya saing? Jauh panggang dari api....


Lemahnya Manajemen PTS

Sebagian besar manajemen pengelolaan PTS belum terbentuk, tersistem dan terlaksana dengan baik, menurut pengalaman penulis selama mengabdi di sebuah PTS meskipun kuantitas mahasiswa terus meningkat namun tidak banyak ‘berdampak’ kepada kondisi internal PT, berbagai ketimpangan terjadi dimana-mana, biasanya rektorat menerapkan manajemen kepemimpinan yang sentralistik dan kaku dengan alasan ini sudah keputusan yayasan, keadaan ini mengakibatkan struktur di bawahnya tidak bisa mengembangkan diri dengan optimal, akibat dari hal ini biasanya pengembangan mutu dosen dan layanan akademik menjadi terganggu, dalam kondisi seperti ini secara teoritis menyebabkan segelintir pihak mendapat keuntungan besar di pihak yang lain dalam posisi terpuruk yang tidak berkesudahan, keadaan ini menyebabkan atmosfer akademik dalam sebuah PT terganggu. jika atmosfer akademik tidak kondusif suasana kerja dan belajar menjadi terganggu, antar dosen saling mencurigai, bawahan tidak percaya pada atasan, dll. hal ini akan berdampak pada mutu luaran PT.

Banyak dari dosen di PTS dapat melanjutkan studinya (S2 dan S3) bukan karena dibiayai oleh PT, namum dari usaha ‘kelincahan’ dosen pribadi dalam mencari peluang beasiswa, bahkan ketika seorang dosen berhasil melanjutkan studi lanjut, tidak sedikit PTS yang tidak memberikan kontribusi apapun pada dosennya yang sedang studi lanjut (banyak dari kawan dosen saya di PTS, gaji bulanan tidak dikirim setelah melanjutkan studi, dengan alasan sudah mendapat beasiswa), mengapa permasalahan ini muncul? Menurut hemat saya berawal dari kedua akar masalah yang saya sebutkan sebelumnya (lemahnya financial dan manajemen)

Kelemahan manajemen juga berdampak terhadap ketidakmampuan lembaga pendidikan tersebut dalam memberikan pelayanan bagi dosen terkait pengembangan dan promosi jabatannya. Dosen-dosen relatif tidak mampu mengembangkan jabatannya berupa kenaikan pangkat dan keperluan profesional lainnya selain disebabkan terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang bersangkutan, juga disebabkan rendahnya perhatian PTS dalam memberikan fasilitasi bagi dosen-dosen tersebut untuk berkembang sehingga para dosen cenderung “mentok” pada jabatan sebagai “asisten ahli” saja, atau dengan kata lain pangkat ketika baru bekerja sama dengan kondisi di saat dosen tersebut telah mengabdi selama puluhan tahun.

Kesemua keadaan ini membuat kita prihatin (paling tidak saya), SDM bermutu dan berdaya saing....????


SOLUSI PEMECAHAN??? SAMPEAN PUNYA SARAN....???


Kamis, 18 September 2008

KETIKA ILMU TIDAK ADA BEDA DENGAN SENI

KETIKA ILMU TIDAK ADA BEDA
DENGAN PUISI JOKO PIN DAN LAGU IWAN FALS


Oleh:

Cak Baskoro Adi Prayitno


Saat ini ada kecenderungan ilmu tidak ada bedanya dengan bermain gitar, menyanyi atau membaca sajak cinta, ilmu mulai kehilangan kegunaan praktis kecuali hanya nilai estetis, ilmu lebih diorientasikan kepada pemenuhan kepuasan jiwa ilmuwan daripada untuk usaha memecahkan masalah pragmatis. Ilmu menjelma menjadi pengetahuan yang harus dihafal, agar bisa dikemukakan pada saat berdebat, makin hafal teori up to date makin hebat. Kalau sudah begini ‘apa beda antara ilmu dengan puisi Joko Pin atau Lagu Iwan Fals? Kini saatnya kita kembalikan aksiologi ilmu pada tempatnya yang ”benar”.


Saya yakin banyak dari sampean bingung atau paling tidak sedikit mengernyitkan dahi dalam ’memaknai’ maksud judul di atas. Mungkin sampean bertanya-tanya, apa kaitannya ilmu dengan puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals?. Sebagian besar orang mungkin menganggap tidak ada kaitannya antara ilmu dengan Puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals. Namun jika sampean seorang pencermat acara televisi, terutama acara debat dengan melibatkan ilmuan-ilmuwan ternama Indonesia, atau sampean termasuk dalam golongan orang-orang iseng yang tidak ada pekerjaan lain, selain mencermati pergeseran orientasi aksiologi ilmu di Indonesia, atau sampean seorang mahasiswa yang terbiasa melihat dan mendengar dosen-dosen dan profesor sampean yang luar biasa ketajaman berpikirnya, namun ketajaman berpikir ini tidak punya nilai praktis dalam membantu memecahkan masalah dalam dunia nyata, saya yakin sampean dapat mengetahui atau paling tidak dapat meraba maksud dan makna judul di atas. Bagi sampean yang tidak termasuk dalam ketiga golongan tersebut mari kita lihat bersama-sama apa yang mendasari saya ’berani’ mengatakan bahwa ada kecenderungan ilmu sudah tidak ada bedanya dengan Puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals terutama untuk konteks Indonesia saat ini.

BUKTI PERGESERAN AKSIOLOGI ILMU
Barangkali bukan merupakan hal yang aneh jika hampir setiap hari kita melihat acara televisi menayangkan acara debat dengan menghadirkan para ilmuwan-ilmuwan ternama di negeri ini, atau kita sering menghadiri bahkan terlibat secara langsung dalam acara-acara semacam itu. Mereka para ilmuwan sambil duduk minum teh atau kopi hangat ditemani makanan ringan lainnya berdebat tentang berbagai masalah, dari masalah nuklir sampai dengan masalah anak jalanan, mereka dengan sangat lihai menyahut, menyanggah, mempertahankan pendapat dengan didasari oleh teori-teori ilmiah yang paling up to date, sangat luar biasa...mengaggumkan.... Setelah itu....? Selesai...., tidak ada manfaat praktis yang diperoleh selain tepuk tangan dan decak kagum dari peserta diskusi...cck....cck...cck...., atau sebuah kepuasan jiwa bagi ilmuwan yang telah berhasil membuktikan ketajaman berpikirnya di arena perdebatan yang menantang dan mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai seorang ilmuwan.

Kalau keadaanya sudah begini, kata Prof. Jujun, ilmu sudah tidak ada bedanya dengan bermain gitar, menyanyi atau membaca sajak cinta, ilmu tidak lagi mempunyai kegunaan praktis selain hanya kegunaan estetis, ilmu lebih ditujukan kepada pemenuhan kepuasan jiwa ilmuwan daripa memecahkan masalah praktis. Ilmu sekedar pengetahuan yang harus dihafal, agar bisa dikemukakan pada saat berdebat, makin hafal teori yang up to date maka semakin hebat. Pertanyaan selanjutnya ‘apa beda antara ilmu dengan puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals?’, coba sampean pikirkan?..., jelas tidak ada bedanya kecuali perbedaan ejaannya i-l-m-u dan s-e-n-i, serta rombongan penggemar, rombongan penggemar iwan fals melabeli dirinya OI (orang Indonesia), rombongan penggemar slank melabeli dirinya Slanker, barangkali rombongan penggemar ilmuwan melabeli kelompoknya dengan nama kaum intelek, sedangkan secara esensi nyaris tidak ada beda diantara keduanya (ilmu dengan seni).

menurut hemat saya akar masalah dari hal ini adalah 'filsafat' mereka yang cenderung memandang rendah pekerjaan-pekerjaan yang berbau praktis-pragmatis, adalah tidak pada tempatnya jika seorang ilmuwan yang terhormat memikirkan masalah-masalah yang tidak sesuai dengan status sosial mereka, apa lagi melakukan tindakan-tindakan konkret, bukankah pekerjaan praktis yang memeras keringat adalah pekerjaan kaum kuli?...

KEMBALIKAN AKSIOLOGI ILMU PADA TEMPAT SEMULA
Kita semua sepakat bahwa Puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals adalah fungsional (bermanfaat) bagi kehidupan kita, Puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals memberikan kenikmatan batiniah, jiwa kita tergetar, terharu, tersentuh oleh lirik dan kata-kata yang artistik menembus dunia makna yang sulit terindra. Jiwa kita bertambah kaya, persepsi kita bertambah luas, diri kita bertambah dewasa dan boleh jadi hal ini akan merubah sikap dan perilaku kita menjadi lebih bijaksana. memang kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak karya sastra dan lagu (seni) mampu mengubah sebuah peradaban di dunia ini.

Namun demikian harus tetap disadari, terdapat perbedaan fungsi antara seni dan ilmu, Lagu Iwan Fals mungkin menyadarkan kita tentang permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di negara kita, mungkin dengan lagu itu jiwa kita tergetar, menyadarkan kita bahwa sangat banyak permasalahan sosial disekitar kita, namun yang jelas kita tidak bisa memecahkan masalah sosial tersebut hanya dengan jiwa yang tergetar atau hanya dengan sekedar bernyanyi menyandang gitar. Ilmuwan perlu melakukan tindakan-tindakan konkret, tentu saja bukan dengan membentuk boy band atau vocal group melainkan melakukan kegiatan fungsional prakmatis berdasarkan keilmuan yang mereka miliki, bukan hanya sekedar berdebat tanpa manfaat praktis, kecuali hanya sekedar tepuk tangan atau decak kagum penonton (baca: peserta debat/diskusi) atas ketajaman berpikir mereka, sebagaimana ketika Joko Pin membacakan Puisi atau Iwan Fals menyanyikan lagu di hadapan para penggemarnya yang juga diiringi tepuk tangan dan decak kekaguman...

Menyitir Tulisan Prof Jujun, buku teks ilmuwan itu seharusnya tidak jauh berbeda dengan buku Primbon dukun ramal yang digunakan untuk konsultasi masalah praktis, tentu saja yang membedakan diantara keduanya adalah asas dan prosedurnya, jika ilmuwan buku primbonnya berdasarkan asas dan prosedur ilmu (metode ilmu/ilmiah), sedangkan primbon dukun asas dan prosedurnya didasarkan pada metode ngelmu/klenik. Kadang kala saya berpikir, barangkali maraknya iklan per-klenikkan yang membanjiri media masa kita, serta kecenderungan semakin banyaknya orang mendatangi dukun/paranormal untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hidup mereka, salah satunya disebabkan kegagalan para 'dukun ilmiah' ini (baca: ilmuwan) 'membumikan' teori-teori keilmuwan mereka, banyak dari mereka terjebak dengan hanya puas hanya sekedar tajam berpikir, tangguh ketika berdebat, namun 'impoten'ketika dihadapkan kepada kegiatan pemecahan masalah praktis.

Mungkin sampean menganggap saya sebagai seorang pragmatis, anggapan sampean barangkali ada benarnya, kalau kita mau berpikir lebih dalam, sebenarnya ilmu itu dikembangkan untuk apa? membantu mempermudah ’kehidupan’ manusia bukan?...

Ada Ilmuwan yang mau konser bareng dengan Iwan Fals atau Joko Pin?, sekedar membandingkan, tepuk tangan untuk siapa yang lebih meriah...

Bagaimana pendapat sampean?...


Malang-Surakarta, 17-18 September 2008

PBIO/FKIP UNS Surakarta
baskoro_ap@uns.ac.id, baskoro_ap@telkom.net
www.baskoro1.blogspot.com

HIDUP TIDAK UNTUK MENYENANGKAN SEMUA ORANG

HIDUP TIDAK UNTUK MENYENANGKAN SEMUA ORANG
KARENA KITA TIDAK MUNGKIN MENYENANGKAN SEMUA ORANG


Oleh:
Cak Baskoro Adi Prayitno


saya meminta dia untuk menarik kesimpulan berdasarkan cerita saya tentang keluarga Lukman, dia diam saja, tetapi saya dapat merasakan bahwa beban berat yang dia ’pikul’ sedikit berkurang, Dia pamit pada saya dengan menghadiahi saya sebuah senyuman dan ucapan terimakasih, dari senyuman dan kalimat terimakasih yang dia ucapkan saya dapat merasakan ada nuansa rasa yang berbeda dibandingkan dengan pertama kali dia datang. Memang kita tidak akan bisa memuaskan semua orang dan memang hidup tidak untuk memuaskan semua orang...



Beberapa hari yang lalu saya di datangi oleh salah seorang mahasiswi, dia menanyakan apa saya ada waktu untuk berbincang-bincang dengannya, karena memang kebetulan tidak ada pekerjaan di kantor, saya mempersilahkan mahasiswi tersebut duduk, pada mulanya saya mengira mahasiswi ini akan menanyakan persoalan terkait dengan matakuliah yang saya ampu, namun dugaan saya rupanya keliru, dia ’curhat’ pada saya tentang permasalahan yang menurut dia sangat mengganggunya, pada intinya mahasiswa ini bersama pacarnya memutuskan untuk menikah di usia muda untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, dan kedua orang tua kedua mahasiswa ini setuju. Setelah mereka menikah beberapa permasalahan muncul, terutama permasalahan terkait dengan desas-desus yang beredar di kalangan teman kuliah dan tentangganya bahwa dia menikah karena ’kecelakaan’ (maried by accident), dan ’gosip’ ini rupanya sangat mengganggu dia dan suaminya dan dia meminta saran saya bagaimana mengatasi permasalahan ini. (saya baru sadar menjadi seorang dosen ternyata tidak selalu berkutat dengan dunia keilmuan, kadang kala mau tidak mau kita ’terlibat’ dalam urusan ’rumah tangga’ mahasiswa-mahasiswa kita)

Saya tertegun agak lama memikirkan apa yang dapat saya sarankan kepada mahasiswi ini, paling tidak saran tersebut dapat sedikit meringankan beban dihatinya. Seingat saya, selama saya menuntut ilmu mulai dari SD sampai perguruan tinggi, saya tidak pernah dibekali ’ilmu’ atau ’jurus’ jika menghadapi persoalan semacam ini. Pikiran saya berputar-berputar sampai tiba-tiba muncul dalam benak saya tentang kisah keluarga Lukman yang pernah diceritakan oleh Bapak pada saat saya masih kecil dulu.


KISAH KELUARGA LUKMAN
Akhirnya saya menceritakan kisah keluarga Lukman kepada mahasiswi tersebut, dikisahkan Lukman sedang berjalan-jalan di pasar dengan anaknya ditemani dengan seekor keledai, dalam perjalanan orang-orang disekitar pasar saling berbisik-bisik membicarakan Lukman dan anaknya ’eh kedua orang itu benar-benar bodoh, sudah membawa keledai tapi tidak dinaiki, benar-benar orang yang bodoh’, Lukman dan anaknya mendengar omongan orang-orang disekitarnya, akhirnya Lukman dan anaknya memutuskan menaiki keledai tersebut bersama-sama, tidak seberapa lama mereka berjalan orang-orang disekitar lukman saling berbisik-bisik kembali membicarakan Lukman dan Anaknya ’kedua orang itu benar-benar tidak punya kasihan, masak Keledai sekecil itu dinaiki berdua’ Lukman dan anaknya mendengar omongan orang-orang tersebut dan memutuskan bahwa anaknya yang menaiki keledai sedangkan Lukman mengiringi dibelakangnya sambil berjalan kaki, tidak jauh mereka berjalan orang-orang disekitar Lukman dan anaknya berbisik-bisik membicarakan mereka berdua ”benar-benar anak durhaka...teganya membiarkan ayahnya yang sudah renta berjalan kaki sedang dia enak-enak naik keledai’ Lukman dan anaknya mendengar omongan orang-orang ini dan memutuskan bahwa Lukman yang naik ke punggung keledai sedangkan anaknya mengiringi dibelakangnya sambil berjalan kaki, tidak jauh mereka berjalan orang-orang disekitar mereka kembali berbisik-bisik membicarakan Lukman dan anaknya ”benar-benar ayah yang egois, membiarkan anaknya yang masih kecil berjalan kaki kepanasan, sedangkan ia enak-enakan duduk diatas keledai dengan nyaman” Lukman dan anaknya mendengar bisik-bisik orang-orang disekitarnya, akhirnya mereka memutuskan mengikat kedua kaki keledai dan kemudian memikul keledai itu bersama-sama anaknya, tanpa lagi menghiraukan orang-orang disekitarnya yang menganggap mereka telah gila berjalan-jalan dengan menggendong keledai”

KITA TIDAK AKAN BISA MEMUASKAN SEMUA ORANG
Dari cerita ini, saya meminta mahasiswi tadi menarik sebuah kesimpulan, dia memang diam saja, tetapi saya dapat melihat bahwa beban berat yang dia rasakan sedikit berkurang, Dia pamit pada saya dengan menghadiahi sebuah senyuman dan ucapan terimakasih..., dari senyuman dan kalimat terimakasih yang dia ucapkan, saya dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan pertama kali ketika ia meminta saya meluangkan waktu untuk mengobrol dengannya. Memang kita tidak akan bisa memuaskan dan menyenangkan semua orang, seperti cerita Lukman yang gagal mencoba memuaskan dan menyenangkan semua orang dan memang hidup tidak untuk memuaskan dan menyenangkan semua orang...

atau... ada orang yang bisa menyenangkan dan memuaskan semua orang?...

Bagaimana menurut sampean....?


Surakarta, 18 September 2008

Senin, 14 Juli 2008

PERLUNYA REKONSTRUKSI PROGRAM AKSI
KESETARAAN GENDER


Oleh:

Cak Baskoro Adi Prayitno



Ketika perempuan mempunyai kesadaran, sikap yang benar mengenai kesetaraan gender dan kemudian diimplemtasikan dalam bentuk perilaku dalam kehidupannya akan dianggap sebagai ’pemberontakan’ perempuan oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu diperlukan rekonstruksi program aksi dari perempuan oriented bergeser pada laki-laki oriented


PENGANTAR
Hari ini saya minta ijin pada ketua program studi untuk tidak ngantor karena ada kegiatan seminar di Malang. Saya sengaja berangkat agak pagi dari Surakarta dengan menggunakan Bus Eka, harapan saya tidak terlalu malam sampai di Malang. Di dalam bus kebetulan saya satu kursi dengan seorang wanita muda dan kelihatan energik, rupanya dia ini seorang aktifis perempuan yang lumayan terkenal. Kami ngobrol ngalor ngidul namun paling banyak topik pembicaraan kami tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki. Saya hanya menempatkan diri sebagai ‘pendengar setia’ dengan sesekali menimpali, karena terus terang, sebenarnya saya tidak banyak mengerti dan tahu mengenai per-genderan ini.

Dari cerita ‘tokoh kita’ ini, saya dapat menyimpulkan seolah-olah dia ‘menghakimi’ saya, sebagai wakil dari laki-laki (pada saat itu kebetulan saya duduk di sisinya) sebagai satu-satunya ’tertuduh’ yang harus ’bertanggungjawab penuh’ terhadap keterpurukan perempuan di masa lalu dan saat ini. Dia juga bercerita tentang kegiatan-kegiatannya selama ini dalam ‘menyadarkan’ perempuan tentang hak-haknya, serta akibat-akibat yang dihadapinya, seperti diancam akan dibunuh oleh seorang laki-laki gara-gara ‘membela’ seorang wanita korban perkosaan. Di intimidasi oleh suami wanita yang didampingi karena KDRT. Terus terang, saya luar biasa kagum dengan teman satu bangku dalam perjalanan saya hari ini.

Sesampai di Malang saya merenung sejenak, ”apakah benar ‘laki-laki’ harus bertanggungjawab terhadap keterpurukan perempuan?”, ”mengapa kegiatan ‘penyadaran’ perempuan akan hak-haknya seringkali mendapatkan ‘perlawanan’ dari kaum laki-laki dan masyarakat?”. Dengan ‘cara berpikir laki-laki’ saya mencoba mencari jawaban pertanyaan pertama, agaknya laki-laki tidak bisa dipersalahkan seluruhnya, karena sikap laki-laki pada jaman dulu dan sebagian pada masa sekarang sesungguhnya dibentuk oleh lingkungan dan budaya dimana mereka dibesarkan. Jawaban pertanyaan yang kedua ‘rupanya’ kegiatan penyadaran gender selama ini titik tekannya lebih terorientasi pada perempuan. Sehingga menimbulkan penolakan pada sisi laki-laki. Selain itu kunci sukses keberhasilan program ’penyetaraan’ perempuan dan laki-laki adalah keberhasilan dalam mendispute produk lingkungan dan budaya masyrakat yang dianggap keliru. Produk lingkungan dan budaya masyarakat dimaksud adalah sikap dan perilaku masyarakat terhadap perempuan. .

LINGKUNGAN DAN BUDAYA MASYARAKAT
Menyalahkan laki-laki sebagai ’biang kerok’ ketidak setaraan gender agaknya kurang bijaksana, demikian juga menyalahkan perempuan yang terlalu ’nrimo’ terhadap ’dominasi’ laki-laki juga kurang bijaksana. Karena sikap dan perilaku demikian sesungguhnya sebagian besar dibentuk oleh lingkungan dan budaya masyarakat. Seperti kita ketahui bersama hampir disemua wilayah di negara kita lingkungan dan budaya masyarakat menempatkan laki-laki lebih ’superior’ di bandingkan dengan perempuan, ada anggapan umum bahwa perempuan hanya berurusan dengan dapur, kasur dan sumur alias urusan-urusan domestik. Bahkan seandainya pun seorang suami mengijinkan istrinya bekerja untuk membantu mencari nafkah, ’kewajiban’ di atas (dapur, sumur, kasur) tetap menjadi urusan istri (perempuan), memang terasa sangat tidak adil, beban perempuan menjadi berlipat.

Jika hal tersebut ’dilanggar’ ada anggapan ’tidak resmi’ di masyarakat bahwa laki-laki tersebut dikelompokkan dalam golongan lelaki takut istri, anggapan ini terbentuk dari lingkungan dan budaya masyarakat. Terkait dengan hal ini saya teringat pada cerita sahabat saya, dia terancam bercerai dengan suaminya gara-gara permasalahan ini. Ceritanya sebagai berikut, sahabat saya ini seorang perempuan, bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Malang, semasa lajang dia mengenyam pendidikan S2 di Amerika Serikat, setelah pulang studi sahabat saya ini menikah dengan seorang laki-laki yang kebetulan juga kawan saya, seorang guru SMA negeri di Malang. Suatu hari karena kesibukannya sahabat perempuan saya meminta suaminya memasak dan mencuci pakaian. Si suami sebenarnya tidak berkeberatan. Ketika si suami mencuci pakaian, tiba-tiba ibu dan bapak si suami datang, melihat anaknya sedang mencuci pakaian sedangkan istri anaknya sedang ’membaca buku’, marah besarlah mereka, semua sumpah serapah khas jawa timuran keluar dengan fasih dari mulut ibu dan bapak si suami. Mereka menganggap menantunya telah menginjak ’harga diri’ anaknya sebagai laki-laki. Ujung-ujungnya mereka mendesak anak laki-lakinya menceraikan sahabat perempuan saya ini, dan sampai sekarang permasalahan ini masih belum selesai.

Mengapa permasalahan ini muncul?, siapa yang salah dalam hal ini?, kalau kita mau berpikir secara ’jernih’ kita bisa menyalahkan atau membenarkan sahabat saya yang meminta suaminya memasak dan mencuci pakaian, kita juga dapat menyalahkan atau membenarkan Ibu dan Bapak suami sahabat saya yang menganggap sahabat perempuan saya telah ’menginjak-injak’ harga diri kelelakian anaknya. Semua tergantung dari ’kaca mata’ mana kita melihat. Sahabat perempuan saya menganggap apa yang ia lakukan pada suaminya bukan dimaksudkan untuk ’menginjak-injak’ kelelakian suaminya (paling tidak itu yang diceritakan saat curhat pada saya), bagi sahabat perempuan saya, laki-laki dan perempuan itu ’sejajar’ ada urusan-urusan yang merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri, seperti memasak, mencuci, merawat anak, dsb. Ada juga urusan yang berkaitan dengan ’kodrat’ perempuan sebagai perempuan seperti melahirkan dan menyusui anak. Sedangkan di kubu lain yang berlawanan (Bapak dan Ibu suami sahabat perempuan saya) apa yang dilakukan sahabat perempuan saya kepada suaminya ini, jelas-jelas tontonan vulgar tentang adegan ’pelecehan’ kelelakian anaknya, karena budaya dan lingkungan mereka mengajarkan bahwa memasak dan mencuci pakaian adalah tugas seorang istri bukan suami. Nah...jadi repotkan...

Ada cerita lain tentang sahabat laki-laki saya, saat ini beliau bersama-sama dengan saya sedang berjuang menyelesaikan program doktor, beliau bercerita sambil tertawa-tawa, sejak istrinya aktif di organisasi Darmawanita di kampusnya, sekarang istrinya sudah tidak mau lagi membuatkan kopi setiap pagi, karena istrinya menganggap membuat kopi bukanlah kewajiban seorang istri, akhirnya sahabat saya ini sering uring-uringan di rumah.

Mencermati dari beberapa contoh kasus yang dialami sahabat saya agaknya diperlukan rekonstruksi dalam program ’penyetaraan’ perempuan dan laki-laki.

REKONSTRUKSI PROGRAM AKSI
Program Aksi Tidak Hanya Perempuan Oriented Tetapi yang Lebih Penting adalah Laki-Laki Oriented

Saya tidak terlalu expert dalam kegiatan per-genderan, namun dari pengamatan saya, selama ini program aksi ’penyadaran’ kesetaraan gender rupanya lebih menitik beratkan pada program penyadaran perempuan tentang hak-haknya mengenai kesetaraan dengan laki-laki. Program ini dianggap tepat karena sesuai dengan sasaran aksi yaitu sikap dan perilaku yang benar oleh perempuan tentang kesetaraan gender. Namun demikian, bukan berarti hal ini tidak mengakibatkan dampak negatif, program aksi yang hanya terorietasi pada perempuan namun melupakan sisi laki-laki hanya akan menimbulkan masalah baru. Ketika perempuan mempunyai kesadaran, sikap yang benar mengenai kesetaraan gender dan kemudian diimplementasikan dalam bentuk perilaku dalam kehidupannya akan dianggap sebagai ’pemberontakan’ perempuan oleh kaum laki-laki. Agaknya cerita kawan satu kursi dalam seperjalanan saya ke malang (yang saya ceritakan sebelumnya) adalah produk dari program aksi yang lebih women oriented.

Untuk meminimalisir terjadinya ’pertempuran’ antara kaum perempuan dan laki-laki mengenai hal ini, agaknya mendesak diperlukan rekonstruksi program aksi dari perempuan oriented bergeser pada laki-laki oriented. Mengapa saya berpikir demikian?, budaya dan lingkungan kita menempatkan laki-laki lebih ’superior’ dari pada perempuan, menurut hemat saya yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah ’menyadarkan’ para laki-laki ini, bahwa sesungguhnya mereka tidak lebih tinggi (setara) dengan perempuan. Jika program aksi ini berhasil dengan baik maka para laki-laki otomatis akan memberikan hak-hak perempuan yang telah ’dirampasnya’ karena tuntutan lingkungan dan kebudayaan tentunya.

Kunci Keberhasilan Program Aksi Adalah Mendispute Produk Lingkungan dan Budaya Pada Masyarakat yang Dianggap Tidak Benar

Menurut hemat saya kunci keberhasilan program aksi adalah terletak pada berhasil tidaknya para aktivis gender dalam mendispute produk lingkungan dan budaya masyarakat yang tidak benar dalam memandang perempuan, hal ini tercermin pada sikap dan perilaku masayarakat terhadap perempuan. Merubah hasil lingkungan dan budaya yang sudah menjadi sikap dan perilaku yang menetap bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan program aksi yang bukan hanya sekedar terorientasi pada pengetahuan saja, karena secara teoritis pengetahuan tidak banyak sumbangan efektifnya terhadap sikap dan perilaku, apa lagi sikap dan perilaku tersebut sudah menetap dalam jangka waktu yang lama dan bahkan telah diyakini sebagai sebuah kebenaran.

Dalam teori pendidikan yang saya dalami, sebenarnya kita dapat merubah persepsi, sikap dan perilaku siswa mengenai sebuah miskonsepsi yang telah diyakini kebenarannya oleh siswa, yaitu dengan menghadapkan (mengcounter) anggapan keliru siswa dengan anggapan yang benar, misalkan anggapan keliru bahwa HIV/AIDS adalah penyakit kutukan bagi orang yang berdosa, kita dapat menghadaptkan pada siswa tentang fakta lain misalnya, ada bayi yang tidak berdosa tertular HIV karena Ibunya mengidap HIV dan ibunya ini sebenarnya orang baik yang tertular oleh suaminya yang nakal. Para ahli pendidikan biasa menyebutnya dengan nama konflik kognitif. Menurut hemat saya cara-cara semacam ini dapat diadopsi dalam kegiatan program aksi daripada sekedar penyuluhan yang hanya terorientasi pada pengetahuan.

Dan satu lagi, mungkin kita harus mau belajar dengan ’Pak Harto’ tentang keberhasilan kampanye keluarga berencana yang berhasil mendispute anggapan, sikap dan perilaku masyarakat yang meyakini bahwa dengan banyak anak banyak rejeki, kemudian lewat program Keluarga Berencana (KB) angggapan tersebut dapat ’dijugkir balikkan’ dengan mudah. Kunci keberhasilan dari program ini adalah pelibatan tokoh-tokoh masyarakat, seperti kiai-kiai dll.



Malang, Awal Juli 2008

Sabtu, 28 Juni 2008

SISTEM PENDIDIKAN KITA HARUS BERTANGGUNGJAWAB TERHADAP KRISIS MORAL DAN ETIKA BANGSA

SISTEM PENDIDIKAN KITA HARUS BERTANGGUNGJAWAB

TERHADAP KRISIS MORAL DAN ETIKA DI NEGARA INI


Oleh:

Cak Baskoro Adi Prayitno



Kurikulum merupakan ’softwere’ yang paling fital dalam menghasilkan sebuah luaran pendidikan. Kurikulum pendidikan kita sebenarnya memang ’belum’ dirancang untuk menghasilkan produk luaran seperti telah diamanatkan oleh tujuan pendidikan nasional. Kurikulum kita hanya dirancang untuk menghasilkan manusia-manusia yang pandai secara kognitif


Tatanan kehidupan yang semrawut merupakan akibat dari system kebangsaan yang rapuh. Hal ini mengantarkan masyarakat Indonesia pada krisis yang berkepanjangan yang seakan tiada pernah berakhir. Berbagai peristiwa dan kejadian yang tidak menyenangkan selalu menghiasi kolom-kolom koran dan layar kaca kita hampir setiap hari, baik itu berupa berita eksploitasi pusat atas daerah, eksploitasi manusia atas manusia, penggunaan jabatan yang sewenang-wenang jauh dari sumpah jabatan, perilaku kekerasan di kalangan remaja, percaturan bisnis yang tidak beretika, perilaku poilitik yang culas serta kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah.

Adalah wajar bila muncul sebuah pertanyaan pada diri kita “pasti ada sesuatu yang salah dengan bangsa ini?’. Mengurai “sesuatu yang salah” ini bukanlah pekerjaan yang mudah, bahkan lebih sulit daripada mengurai benang yang paling kusut sekalipun. Menurut hemat saya kesemrawutan bangsa ini merupakan akumulasi dari akibat “sesuatu” yang salah tersebut. Kesemrawutan ini tidaklah cukup dijelaskan dengan hanya menggunakan hukum kausalitas sederhana. Fakta menunjukkan koruptor kelas kakap sebagian besar adalah orang yang berpendidikan tinggi bahkan orang yang mempunyai pengetahuan yang baik mengenai hukum. Orang yang suka membunuh saudaranya mengaku orang yang paling taat beragama. Seolah-olah menyalahkan kurangnya pendidikan dan pengetahuan agama masyarakat tidak berdasar. (Kadang kala saya berpikir terminology Hume bisa jadi benar ketika ia mengatakan tidak ada rasionalisasinya hukum kausalitas alam. Karena segala sesuatu kejadian di alam itu tidak hanya dipengaruhi oleh beberapa factor tapi supra multi factor yang tidak akan pernah diketahui alasannya oleh manusia). Namun hati kecil saya percaya bahwa tidak ada sebab tanpa ada penyebab, tidak ada asap kalau tidak api demikian pepatah bijak mengatakan.

Kalau kita mencoba mau sedikit mengernyitkan dahi untuk menelusuri akar masalah penyebab krisis kebangsaan ini mungkin kita akan sampai pada salah satu titik simpul yang mempunyai andil besar dalam menyumbang kesemrawutan ini yaitu system pendidikan. Adalah benar adanya jika banyak ahli mengatakan bahwa institusi yang pertama kali harus bertanggungjawab terhadap krisis kebangsaan ini adalah dunia pendidikan, karena dunia pendidikan merupakan ujung tombak dalam membentuk karakter anak bangsa, karena dunia pendidikan yang memberikan warna hitam atau putih anak-anak bangsa. Pertanyaan selanjutnya apa yang salah dengan pendidikan kita sehingga menghasilkan luaran-luaran yang pintar dan cerdas secara kognitif tetapi miskin etika dan moral.

Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Kita

Kalau kita berbicara tentang sistem pendidikan, secara sederhana dapat dilustrasikan seperti kerja sebuah pabrik dalam menghasilkan sebuah produk. Kerja sebuah pabrik selalu berurusan dengan tiga komponen, yaitu input, proses, produk. Input merupakan berbagai hal (sumber daya) yang digunakan dalam proses untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika pabrik tersebut adalah pabrik mebel maka input tersebut bisa berupa kayu. Proses, adalah upaya untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, jadi pada bagian ini input tadi akan dibentuk sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Masih dengan menggunakan contoh pabrik mebel, maka bagian proses ini adalah kegiatan mengubah kayu menjadi sebuah mebel (sebagai tujuan yang telah ditetapkan). Luaran, merupakan hasil akhir dari kegiatan proses. Hasil akhir dari proses pada contoh pabrik di atas berupa mebel bisa kursi, meja, almari, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Cara kerja sistem pendidikan kurang lebih sama dengan sistem kerja sebuah pabrik yang telah diuraikan sebelumnya. Kalau kita hendak mengurai apa yang salah dengan system pendidikan kita, kita harus menelusuri komponen-komponen ini. Untuk mengurai apa yang salah dengan system pendidikan kita mari kita tinjau dulu tujuan pendidikan nasional kita yaitu ‘mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Namun agaknya tujuan pendidikan nasional ini untuk konteks sekarang harus diakui masih ’jauh panggang dari api’. Bila kita ibaratkan (masih dengan menggunakan contoh pabrik mebel) tujuannya hendak membuat mebel, produk yang dihasilkan malah ‘mobil-mobilan’ dari kayu. (masih mendingan jika hasilnya masih berupa mebel dengan mutu jelek )

Bila kita mendapatkan luaran yang tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan akal sehat kita pasti mengira ada sesuatu yang tidak benar pada sisi input dan proses tersebut. Kalau kita berbicara Input dalam pendidikan paling tidak ada 3 faktor yang terlibat, 1) orang yang terlibat dalam proses, dalam hal ini siswa, guru, dan karyawan, 2) material, meliputi fasilitas, peralatan dan barang-barang yang diperlukan dalam proses, 3) tekhnologi, adalah tekhnik yang digunakan dalam proses untuk melaksanakan tugas-tugas praktis untuk mencapai tujuan. Sekarang mari kita coba melihat apa yang salah dari sisi input. Pertama kita tinjau dari sisi orang yang terlibat, siswa merupakan ’bahan mentah’ yang akan dibentuk oleh proses pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan, dari sisi siswa merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, jadi pada sisi siswa kita harus berasumsi tidak ada masalah berarti. Selanjutnya adalah guru, faktor guru masih banyak menyisakan masalah terutama masalah pemerataan dan mutu guru, untuk mengatasi permasalahan mutu guru pemerintah sedang mensertifikasi ratusan ribu guru di Indonesia, permasalahan mutu guru ini merupakan kegagalan LPTK dalam menyiapkan guru berkualitas (menurut hemat saya, sertifikasi guru barangkali merupakan langkah yang tepat untuk jangka pendek, tetapi akan menjadi pemborosan besar-besaran bila tidak diiringi perbaikan kualitas institusi penghasil guru (LPTK), kegiatan sertifikasi guru merupakan indikator kegagalan LPTK dalam menghasilkan guru yang berkualitas). Faktor kedua berupa material seperti fasilitas, peralatan dan barang-barang yang diperlukan dalam proses, bila kita tinjau dari sisi ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa fasilitas, peralatan dan barang-barang yang diperlukan dalam proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sungguh sangat memprihatinkan. Faktor ketiga teknologi, tekhnologi dalam konteks ini adalah tekhnologi yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, menurut hemat saya sampai saat ini pemerintah masih ’kebingungan’ mencari ’tekhnologi’ yang cepat, tepat dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Jadi kesimpulannya jika kita tinjau dari sisi input sistem pendidikan kita memang masih banyak menyisakan permasalahan.

Selanjutnya kita mencoba mengurai permasalah sistem pendidikan kita dari sisi proses. Bila kita mencoba mengidentifikasi komponen-komponen apa saja yang terlibat dari sisi proses paling tidak ada dua faktor penting yang sangat mempengaruhi output dari sistem pendidikan, yang pertama kurikulum dan yang kedua adalah proses pembelajaran. Kurikulum ini merupakan ’softwere’ yang paling fital dalam menghasilkan sebuah luaran, karena di dalam kurikulum ini sesungguhnya ’blue print’ sebuah luaran. Menurut hemat saya kurikulum pendidikan kita sebenarnya memang ’belum’ dirancang untuk menghasilkan produk luaran seperti telah diamanatkan oleh tujuan pendidikan nasional kita. Kurikulum kita sebenarnya dirancang untuk menghasilkan manusia-manusia yang pandai secara kognitif saja. Untuk membuktikan statment ini sebenarnya cukup mudah, mari kita tinjau kurikulum pendidikan dasar dan menengah kita, berapa banyak mata palajaran yang mampu mengajari siswa kita berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab?, berapa jam mata pelajaran agama untuk mengajari menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa?. Faktor kedua yang sangat berpengaruh adalah proses pembelajaran, harus kita akui proses pembelajaran kita masih terorientasi pada kegiatan menghafal, siswa tidak pernah diajarkan kemampuan berpikir (berpikir tinggi,`kreatif, kritis, apalagi ketrampilan sosial), siswa kita tidak ada bedanya dengan burung beo (saya masih ingat ketika saya masih menjadi guru GTT di SMA swasta di Malang, saya iseng-iseng bertanya pada siswa saya ’coba berikan contoh simbiosis mutualisme?’ hampir sebagian siswa saya menjawab burung jalak sama kerbau, ketika saya minta mereka memberi contoh lain semua siswa tidak bisa, dan pertanyaan ini saya ulang pada siswa yang baru masuk disekolah tersebut pada tahun berikutnya, dan jawaban mereka sama dengan jawaban siswa saya sebelumnya)

Dari uraian di atas adalah sebuah kewajaran jika luaran pendidikan kita hampir sebagian besar miskin etika dan moral, selain kurikulum kita yang kurang mengakomodir soal etika dan moral, juga disebabkan oleh sebab-sebab lain yang sangat kompleks mulai dari sisi input dan proses. Adalah suatu kewajaran jika banyak orang mengatakan sistem pendidikan kita harus bertanggungjawab terhadap krisis moral dan etika di negara ini.


Malang, 28 Juni 2008



Kamis, 26 Juni 2008

MENGURAI AKAR PERMASALAHAN SOAL PERDEBATAN UAN

MENGURAI AKAR PERMASALAHAN PERDEBATAN SOAL

UJIAN AKHIR NASIONAL (UAN) YANG TAK KUNJUNG SELESAI


Oleh:

Cak Baskoro Adi Prayitno



Kita sudah teralu lama ‘berkelahi gaya preman’ beradu wacana dan teori di jalanan yang sebenarnya tidak pernah menyelesaikan masalah, yang kita butuhkan adalah duduk bersama demi mutu pendidikan Indonesia yang lebih baik”


Baru beberapa hari yang lalu pengumuman kelulusan ujian akhir nasional (UAN) diumumkan secara nasional. Seperti halnya pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah mendapatkan ‘hujan’ cacian dari berbagai pihak, mulai dari ‘cacian’ yang didasari argumen teoritis akademis sampai dengan cacian yang hanya berdasar alasan-alasan irasional. Namun demikian pemerintah tidak bergeming sedikitpun ‘anjing menggonggong kafilah berlalu”, bahkan pada tahun sebelumnya pemerintah malah menaikkan nilai standard kelulusan peserta UAN.

Pada kesempatan ini saya mencoba menempatkan diri dalam posisi netral untuk mengurai akar permasalahan perdebatan permasalahan UAN yang tidak kunjung selesai dari tahun ketahun. Menurut hemat saya akar masalah dari perdebatan ini hanya bersumber dari satu akar masalah sederhana namun sangat sulit untuk disatukan, yaitu perbedaan sudut pandang mengenai definisi atau cara memandang terhadap “konsep” mutu pendidikan. Kedua kubu pro dan kontra UAN pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu berkeinginan meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. ‘Perkelahian’ yang tidak kunjung selesai antara kubu pro dan kontra UAN ini, menurut hemat saya disebabkan posisi mereka yang kontradiktif (kalau tidak boleh dikatakan ekstrim kiri dan kanan) dalam memandang definisi mutu pendidikan seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya.


Perbedaan Sudut Pandang Dalam Memandang Mutu Pendidikan

Barangkali hampir sebagian besar dari pembaca mengetahui bahwa sistem pendidikan kita sadar atau tidak sadar mengacu pada sistem pendidikan yang diadopsi dari Amerika Serikat (AS), bukan rahasia lagi bahwa sistem pendidikan di Amerika Serikat dibangun atas dasar kepanikan negara adi daya tersebut terhadap keberhasilan Uni Sovyet dalam meluncurkan pesawat luar angkasa pada era tahun 1950-an. Pada saat itu untuk mengejar ketertinggalannya dari Uni Sovyet pemerintah Amerika Serikat melaksanakan reformasi besar-besaran dalam sitem pendidikannya. Isu utama yang diusung adalah luaran pendidikan Amerika Serikat harus mampu pengembangan ilmu pengetahuan (basic science). Sehingga pada saat itu kurikulum sekolah-sekolah Amerika Serikat dirombak besar-besaran dengan menekankan pada aspek-aspek akademik guna mencapai ambisi Amerika Serikat, Siswa-siswa Amerika Serikat sengaja ’dicetak’ untuk menghasilkan ilmuwan-ilmuwan dan pemikir-pemikir handal yang mampu mengembangkan basic science guna mendukung ’perang dingin’ dengan Uni Sovyet.. Reformasi pendidikan yang dilakukan oleh Amerika Serikat tersebut memang membawa hasil yang sangat menakjubkan, sampai saat ini pendidikan di Amerika Serikat merupakan potret pendidikan terunggul di dunia ditinjau dari sisi basic science. Indikator sederhana dari keberhasilan Amerika Serikat mengembangkan basic science adalah jumlah penerima Nobel dalam bidang sains sampai saat ini di dominasi oleh ilmuwan-ilmuwan negera ini.

Rupanya pemerintah lebih suka mengikut ‘mahzab’ strategi pendidikan yang dikembangkan oleh Amerika Serikat, indikator sederhana bahwa pemerintah mengikuti style pendidikan Amerika Serikat dengan mudah dapat kita lihat, para siswa di Indonesia, sadar atau tidak sadar dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi atau dengan kata lain siswa di Indonesia ini sebenarnya dipersiapkan untuk menguasai dimensi akademik (dipersiapkan menjadi ilmuwan dan pemikir/filosof), konsekuensi logis dari hal ini adalah, kurikulum pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada dimensi akademik (coba kita lihat kurikulum sekolah dasar semua berdimensi akademik, banyak mana jumlah SMA dan SMK di Indonesia?) dan tentu saja evaluasi hasil belajar yang dikembangkan semua berdimensi akademik (lebih cenderung menekankan pada aspek kognitif). Model strategi pendidikan semacam ini diyakini oleh pemerintah akan mampu mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia, dan pandangan semacam ini menurut hemat saya sebenarnya tidak juga dapat dipersalahkan.

Di sisi lain kubu yang berlawanan dengan pemerintah (Kontra Ujian Akhir Nasional) menganggap bahwa strategi pendidikan semacam itu tidaklah tepat, kubu kontra Ujian Akhir Nasional (UAN) rupanya lebih suka memandang definisi mutu pendidikan dari sisi pragmatis. Pendidikan yang dikembangkan oleh Amerika Serikat memang teruji sebagai yang terbaik di muka bumi ini, bahkan sampai saat ini belum ada satu negara di dunia ini yang dapat menandinginya (coba kita lihat hampir sebagian besar the best teen perguruan terbaik di dunia berasal dari Amerika Serikat), tetapi dengan sistem pendidikan yang berorientasi pada basic science sesungguhnya membuat Amerika Serikat mengalami ’kekalahan’ dalam ’perang’ persaingan global (coba kita pikirkan siapa penemu mobil pertama, semua orang tahu Henri Ford orang Amerika. Siapa yang menguasai pasar mobil Amerika saat ini, semua orang tahu negara Jepang). Mereka (kubu kontra ujian akhir nasioanal) beranggapan bahwa, pendidikan model Amerika Serikat hanya menyiapkan 10% penduduk terpandai (ingat kurva normal), karena secara teoritis hanya 10% penduduk terpandai yang akan mampu menguasai ilmu pengetahuan dengan baik, atau dengan kata lain hanya 10% siswa terpandai saja yang mampu melewati ujian yang hanya berdimensi kognitif-akademik. Sementara itu di sisi lain banyak potensi lain dari siswa yang sebenarnya dapat dikembangkan tidak tergarap dengan baik (toh semua siswa tidak harus menjadi ilmuwan atau filosof bukan?), dan celakanya 80% siswa atau penduduk Indonesia (sebenarnya bukan hanya di Indonesia namun juga seluruh penduduk dunia) bukan tergolong dalam mereka yang mempunyai kecerdasan akademik 10% tersebut, tetapi pada kecerdasan-kecerdasan yang lain, seperti pekerjaan teknis, seniman, dan lain-lain, dan celakanya 80% siswa-siswa tersebut ’dipaksa’ mengikuti 10% siswa yang mempunyai kecerdasan akademik, sehingga hak-hak mereka untuk sukses dibidang lain ’diperkosa’ oleh negara dengan kebijakan strategi pendidikan seperti di atas, indikator tersebut dengan mudah dapat kita lihat, banyak dari siswa kita yang tidak lulus ujian akhir nasional justru mereka anak-anak yang berprestasi dibidang lain seperti olahraga, bahasa, seni, dll, di satu sisi memang harus di akui ada beberapa siswa-siswa Indonesia berjaya dalam event-event olimpiade sains di dunia, namun sebenarnya hal itu tidak dapat digeneralisasikan ke semua populasi siswa Indonesia, mereka adalah siswa-siswa yang termasuk dalam 10% yang memiliki kecerdasan akademik tadi. Sedangkan sisa 80% dari siswa tadi sering kali mendapat predikat ’siswa bodoh’ dari masyarakat (anggapan seperti ini masih berlaku di masyarakat sampai saat ini, orang tua merasa anaknya bodoh jika pada saat SMA anak mereka masuk pada jurusan-jurusan sosial dan bahasa) Pandangan-pandangan semacam ini agaknya merupakan salah satu argumen yang mendasari ketidaksetujuan kubu kontra ujian akhir nasional (UAN) terhadap kebijakan strategi pendidikan yang dipilih oleh pemerintah, dan pandangan semacam ini menurut hemat saya juga tidak dapat dipersalahkan.

Belajar dari Jepang dan Jerman
Mempertemukan cara pandang yang kontradiktif terhadap suatu permasalahan memang bagaikan menyatukan ‘minyak dengan air’, namun demikian bukan hal yang mustahil untuk dapat dipersatukan, yang kita perlukan hanya sebuah ‘sabun’ untuk mempersatukannya, yang kita perlukan adalah mencoba memandang sebuah permasalahan secara ’utuh’ dengan ’melihat’ dari semua sudut pandang, sehingga perdebatan ’orang buta mendefinisikan gajah’ tidak lagi terjadi.. Mungkin kita perlu belajar dari negara Jepang dan beberapa negara eropa seperti Jerman.

Strategi pendidikan di Jepang dan Jerman berbeda dengan Amerika Serikat dan Indonesia yang lebih mementingkan 10% siswa terpandai dalam akademik, serta memaksakan sisanya mengikuti jejak 10% terpandai, strategi pendidikan di Jepang dan Jerman justru sebaliknya, pemerintah Jepang dan Jerman berusaha memberdayakan keduanya, 10% siswa pandai dalam bidang akademik betul-betul disaring untuk menjadi ilmuwan dan pemikir, mereka dipersiapkan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan sistem seleksi yang terkenal sangat sulit, sedangkan sisanya 80% dipersiapkan sesuai dengan bakat mereka. Tidak heran pendidikan dasar di Jepang termasuk dalam kategori tidak sulit, bahkan relatif menyenangkan. Strategi pendidikan semacam ini terbukti mampu membawa Jepang menjadi negara ‘pemenang ‘ dalam persaingan global saat ini. (baca tulisan saya mengenai strategi pendidikan Jepang menyongsong era informasi, tulisan tersebut saya angkat dari beberapa tulisan pada Jurnal Science, dan bandingkan dengan tulisan saya mengenai strategi pendidikan di China yang mampu membangunkan ’Kumbo Karno’ China dari tidur panjangnya, tulisan tentang strategi pendidikan di China ini juga saya angkat dari beberapa tulisan pada Jurnal Science, kemudian bandingkan dengan Strategi pendidikan yang dipilih oleh pemerintah Indonesia. Semua tulisan tersebut dapat sampean baca pada www.baskoro1.blogspot.com)

Hentikan Perkelahian Gaya Preman Beradu Teori dan Wacana di Jalanan !!
Mungkin langkah yang mendesak untuk dilakukan saat ini adalah mendudukkan kedua kubu ini dalam ‘meja’ bersama-sama, mendiskusikan solusi yang tepat untuk mencari jalan keluar yang paling baik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Bukankah kedua kubu ini sudah pada posisi jalur yang benar yaitu sama-sama ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia tercinta. Pemerintah seyogyanya tidak tutup mata dan tutup telinga terhadap kritik yang menurut hemat saya memang benar adanya, demikian juga sebaliknya kubu kontra ujian akhir nasional (UAN). Kita sudah teralu lama berkelahi gaya preman’ beradu wacana dan teori di jalanan yang sebenarnya tidak pernah menyelesaikan masalah, yang kita butuhkan adalah duduk bersama demi mutu pendidikan Indonesia yang lebih baik.




Surakarta, 27 Juni 2008


Selasa, 24 Juni 2008

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:
Baskoro Adi Prayitno


Mengingat banyaknya e-mail yang masuk pada saya yang sebagian besar meminta contoh proposal-proposal penelitian pendidikan. Pada kesempatan ini saya mencoba memposting beberapa contoh proposal penelitian pendidikan yang lulus seleksi hibah penelitian p2tk&kpt dikti, dan dp2m Dikti. Proposal terserbut meliputi; 1) proposal Penelitian Tindakan Kelas (hibah penelitian PTK 2006, P2TK&KPT Dikti), 2) proposal Penelitian kuasi Eksperimen (hibah penelitian dosen muda 2006 DP2M Dikti) dan 3) proposal Penelitian Pengembangan (hibah bersaing 2007 DP2M Dikti)

Semua Proposal tersebut dapat digunakan oleh siapapun yang berminat secara gratis dengan copyright pada Baskoro Adi Prayitno, saudara hanya diperkenankan menggunakan proposal tersebut sebagai contoh atau rujukan saja dalam pengembangan proposal penelitian saudara.

Akhirnya...saya berharap semoga hal kecil ini ada manfaatnya...bagi perkembangan pendidikan dan pembelajaran di Indonesia. Oh ya...Jangan Lupa beri kritik dan saran saudara mengenai contoh proposal tersebut di kolom komentar diakhir posttingan atau dapat di email pada: Baskoro_ap@telkom.net atau Baskoro_ap@uns.ac.id

DOWNLOAD CONTOH PROPOSAL PENELITIAN PENDIDIKAN
Contoh proposal PTK (Copyright pada Baskoro Adi Prayitno)
Contoh Proposal Kuasi Eksperimen (Copyright pada Baskoro Adi Prayitno)

Jumat, 13 Juni 2008

APAKAH AGAMA YANG ILMIAH YANG DIKATAKAN BENAR?

APAKAH AGAMA YANG ILMIAH YANG DIKATAKAN BENAR?



Oleh:

Baskoro Adi Prayitno



Tulisan saya kali ini sebenarnya tidak sesuai dengan tema blok yang saya pilih sendiri, yaitu terminal artikel hasil penelitian dan konseptual tentang pendidikan dan pembelajaran. Tetapi karena saya yang membuat dan mengembangkan blok ini sendiri (dan jangan-jangan juga hanya saya sendiri yang baca….ha…ha…), suka-suka saya mau menulis apa (ha...ha...), jadi sampean harus maklum.

Sebelum saya menguraikan panjang lebar tentang pandangan saya mengenai judul di atas, saya pikir sampean perlu tahu bahwa saya sebenarnya tidak berkompeten menulis hal ini, saya sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi di sekolah negeri yang tidak berbasis agama, sampean maklum bersama bahwa jam mata pelajaran agama sangat minim di sekolah-sekolah tersebut, modal saya hanya belajar agama dari surau kecil di sebelah rumah saya di desa dulu, setelah itu saya hanya membaca beberapa buku-buku dengan tema-tema keagamaan. Mengapa saya perlu menceritakan hal ini?, agar sampean dapat menyikapinya dengan benar tulisan saya. Kalau memang tulisan saya ini ternyata tidak berkenan di hati sampean, anggap saja tulisan orang lagi stress (ha…ha...), tidak perlu meng-hack..blok saya bukan..(ha…ha…)

Mungkin sampean-sampean yang setia membaca blok saya (kalau ada sih..ha..ha…) bertanya-tanya ‘ketemu pirang perkoro’ (bagi pembaca yang tidak dari jawa artinya kira-kira “ketemu berapa perkara”) saya menulis tentang topik ini. Sebenarnya saya telah lama ingin menulis tentang hal ini, terutama sejak saya terpikat oleh buku-buku cak Agus Mustofa, sampai-sampai setiap buku beliau terbit saya selalu menjadi kelompok orang pertama yang antre membeli buku beliau (bisa dikatakan saya fans setianya beliau). Cak Agus Mustofa dalam setiap bukunya mencoba mengilmiahkan semua ayat-ayat dalam Alquran. Hari ini saya Sholat Jumat disalah satu masjid di Surakarta, Khotib juga mencoba mengilmiahkan ayat-ayat Alquran, sangat mengesankan…dan menarik…

Setelah pulang dari Sholat Jum’at tersebut kalimat Khotib, masih terngiang-ngiang dalam telinga saya, juga muncul kembali tulisan-tulisan cak Agus Mustofa di benak saya, melayang-layang memenuhi rongga kepala saya. Timbul banyak pertanyaan di otak saya, salah satu pertanyaan yang sangat mengusik saya adalah ‘apakah agama yang benar itu selalu dapat dijelaskan secara ilmiah?”. Terus terang pembaca…saya sempat tertegun lumayan lama (harus dimaklumi basic pengetahuan agama saya kurang bagus, menghadapi persoalan semacam ini saja sudah sangat berat bagi saya untuk mencari tahu jawabannya). Dalam ketermenungan saya, pikiran saya melayang pada cerita Galileo (benar ya…ha..ha..) yang harus mati dihukum gantung karena mengatakan bumi ini bulat, berlawanan dengan apa yang diyakini orang saat itu, yang berpegang pada ayat dalam alkitab yang menyatakan bahwa bumi ini datar. Lalu timbul sebuah pertanyaan, siapa yang salah? ayat dalam alkitab atau sains yang dikemukakan oleh Galileo?, saya pribadi menganggap bahwa agama itu ‘malah’ tidak harus ilmiah, agama itu harus melampaui kebenaran ilmiah, kalau agama yang benar adalah agama yang ilmiah apa bedanya dengan sains?. Anggapan saya ini, mungkin menjadi agak bertolak belakang dengan tulisan-tulisan cak Agus Mustofa dan petuah Bapak Khotib Jumat saya tadi (tapi bukan berarti saya tidak lagi membaca buku beliau, saya tetap suka membaca buku-buku beliau), untuk mengklaim bahwa anggapan saya yang paling benar saya tidak berani, karena dasar yang saya gunakan adalah pengkajian secara filsafati (filosofis).

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba menguraikan alasan mengapa saya kurang sepakat dengan anggapan agama yang benar adalah agama yang ilmiah, atau usaha-usaha untuk mencoba mengilmiahkan ayat-ayat dalam kitab suci. Eit..tunggu dulu.. sampean jangan salah persepsi dengan pernyataan saya tadi, mencoba mengilmiahkan ayat suci boleh saja, tetapi tetap harus disadari bahwa kebenaran ilmiah itu kebenaran nisbi/relative, artinya hari ini benar, nanti suatu saat kalau ada teori lain yang berhasil menggugurkan, maka teori yang tadi kita anggap benar harus gugur demi hukum, pertanyaan selanjutnya apakah ayat-ayat kitab suci tadi juga harus gugur demi hukum karena landasan teoritisnya ambruk?, kalau iya sangat menggelikan...

Oke..untuk membantu kita mengurai permasalahan ini, kita harus mengidentifikasi variabel-variabel masalahnya terlebih dahulu, baru kemudian kita coba mengkajinya dari sudut filosofis (filsafati) “kapan sesuatu (pengetahuan) dikatakan benar secara ilmiah’. Sedangkan kajian dari sisi keagamaan, jelas saya tidak berkompeten, jadi saya tidak membahas dari sudut pandang ini.

Kalau kita cermati paling sedikit ada dua variabel kunci yang dapat membantu kita yaitu 1) kebenaran ilmiah, dan 2) kebenaran agama. Selama kita sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi kita sudah mengetahui bahwa kebenaran ilmiah itu adalah kebenaran nisbi/relative, sedangkan kebenaran agama merupakan kebenaran yang mutlak. Namun demikian saya yakin hampir sebagian besar kita tidak mengetahui apa makna dari kebenaran ilmiah yang nisbi/relative. Kebenaran agama dalam implementasinya mutlak? Sampai saat ini menjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai dari para ahli agama, tetapi mereka sepakat bahwa ayat-ayat kitab suci (alquran) benar secara mutlak. Dari dua variabel yang berhasil kita identifikasi tanpa saya uraikan lebih lanjut sebenarnya sudah dapat kita simpulkan usaha mengilmiahkan kebenaran agama, secara filosofis sesungguhnya merupakan kemunduran, yaitu dari agama sebuah kebenaran “mutlak” menjadi kebenaran yang relative/nisbi.

Kapan sesuatu (pengetahuan) dikatakan benar secara ilmiah? Untuk mengetahui ’sesuatu’ (saya katakan sesuatu, sesuatu itu nanti kita kenal dengan nama pengetahuan) dikatakan benar ada prasyaratnya. Sebelum kita berangkat ke prasyarat sesuatu dikatakan benar, terlebih dahulu kita mencoba memahami konsep-konsep dasar filosofis yang mendasarinya.

Konsep dasar pertama kita harus mengetahui dulu apa itu pengetahuan. Pengetahuan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang kita ketahui, tidak peduli dari manapun datangnya. Kalau kita diminta memberi contoh tentang pengetahuan, semua dari kita pasti dapat memberikan jawaban dengan benar, misalnya papan tulis itu berwarna hitam disebut pengetahuan,Mbok Rondo Dadapan cantik juga disebut dengan pengetahuan.

Konsep dasar kedua, manusia tidak puas dengan hanya sekedar tahu, manusia menginginkan pengetahuan yang benar? Apa jaminan bahwa papan tulis tadi berwarna hitam, toh sampean tidak melihatnya bukan?, apa jaminan bahwa Mbok Rondo Dadapan cantik toh saudara tidak mengenalnya bukan?. Sampai disini manusia dihadapkan pada sebuah kebingungan besar. Seandainya alat yang digunakan untuk mencari kebenaran agama, wah...kayaknya repot ya...dunia bisa kacau, semua agama mengklaim agamanya yang paling benar, benar tidak?. Singkat cerita (kalau mau tahu lebih banyak baca buku-buku filsafat ha...ha...) alat yang digunakan untuk mencari kebenaran adalah akal (paham rasionalisme), jadi sesuatu (pengetahuan) dikatakan benar menurut anggapan rasionalis ini adalah jika masuk akal, yang tidak masuk akal (tidak rasional) menjadi tidak benar. Meminjam contoh dari profesor Ahmad Tafsir ”Nabi Ibrahim dibakar tidak terbakar”, masuk akal atau tidak?, rasional atau tidak?, jelas tidak rasional karena menurut akal, ’nabi Ibrahim adalah materi yang jika dibakar akan terbakar’. Pertanyaan selanjutnya apakah hal tersebut tidak benar?. Menurut ayat kitab suci benar. Kalau dalam posisi demikian, mana yang benar? Jelas ayat kitab suci benar secara mutlak, artinya benar ya benar.. yakini saja tidak peduli dapat dibuktikan secara ilmiah atau tidak (menurut saya ini salah satu wujud dari iman). Akhirnya saya berpikir, sebenarnya cakupan benar yang rasional itu ’sempit’ saja, hanya yang dapat diterima akal. Selama ini kita secara tidak sadar telah mendewa-dewakan kebenaran rasional, yang ternyata sempit saja cakupan benarnya...(eh...kok kelihatan bijaksana ya, sstt..yang ngomong bukan saya, tapi prewangan saya ha...ha...)

Dari paragraf di atas kita telah mengetahui bahwa pengetahuan yang benar dicari dengan menggunakan akal/rasio (paham rasionalisme, katanya orang-orang yang belajar filsafat). Paham rasionalisme ini berkembang luar biasa cepat pada jaman Yunani, tidak percaya...? (ya ...sudah...ndak apa-apa..). Paham rasionalisme ini mempunyai banyak kelemahan, kalau kita cermati kadangkala temuan rasionalisme dalam menguji kebenaran sering kali ambigu, misalkan ”peluru yang ditembakkan itu bergerak atau diam?” Dengan rasio/akal orang dapat menjelaskan dengan sama baiknya bahwa peluru yang ditembakkan diam atau bergerak, toh...sampean juga tidak melihat peluru itu bergerak dari titik A ke B. (berapa banyak benar yang kau ketahui, sebanyak akalmu mampu melabeli...ini kata saya...biar kayak Pak Jujun, setiap kalimat dalam buku beliau pasti dilengkapi dengan puisi ha...ha...). oke...orang mulai berpikir, ”kebenaran macam apa yang dapat mengatakan sama-sama benar pada sesuatu yang bertolak belakang?”, ”mencuri benar? tidak mencuri juga benar?”, ”setia benar? selingkuh juga benar?” (kalau seandainya benar dicari dengan polling sms, maka selingkuh yang layak dikatakan benar, dan yang dikatakan tidak benar adalah setia...ha...ha...).

Antitesis dari rasionalisme adalah empirisme, sesuatu dikatakan benar menurut paham empirisme adalah jika pengetahuan itu dapat dibuktikan kebenaranya secara empirik. Papan tulis berwarna hitam dikatakan benar menurut paham empiris jika kenyataan empiriknya memang berwarna hitam, mbok Rondo Dadapan dikatakan cantik kalau kenyataan empiriknya memang cantik, peluru yang ditembakkan diam atau bergerak? bila kita mau membuktikan peluru itu bergerak atau diam menurut paham empirik mudah saja, saudara silahkan berdiri nanti saya tembak kalau peluru itu dapat menembus badan saudara berarti peluru itu bergerak, karena hanya benda yang bergerak yang dapat menembus sesuatu. Paham empirisme juga banyak mempunyai kelemahan, mari kita lihat dengan ilustrasi yang terlalu saya buat-buat ini (ha...ha...). Di kota saya Lumajang Jawa Timur (tepatnya desa Gucialit, kalau saudara lihat peta indonesia kemudian mencari desa tersebut saya jamin tidak ketemu, tapi kalau saudara search di googlemap atap rumah saya pun keliahatan, saya berpikir...apa karena tidak ada di peta, saudara-saudara saya di sana, sampai saat ini tidak dapat pembagian kompor gas gratis ha...ha...) jika ada gerhana matahari penduduk beramai-ramai memukul kentongan, kalau kita bertanya pada mereka ’mengapa kok memukul kentongan?’ mereka akan menjawab ’agar matahari cepat keluar’, kalau kita tanya lagi ’kok bisa matahari cepat keluar’, mereka akan menjawab ”matahari lagi dimakan betara Kala, dengan dipukul kentongan maka telinga Batara Kala akan bising, kemudian marah-marah sehingga matahari yang terlanjur ditelan tersedak keluar” kalau kita kejar lagi mereka dengan pertanyaan ”kalau mataharinya sudah tertelan sampai perut Batara Kala gimana?” Mereka akan melempari saudara dengan kentongan. (ha...ha...ha...ndak ada kerjaan lain ..sampai harus bertanya hal tidak penting). Setelah kentongan dipukul, beberapa saat kemudian ternyata benar bahwa matahari keluar dari langit yang gelap. Pertanyaanya adalah apakah benar disebabkan oleh dipukulnya kentongan matahari keluar? Namun secara empirisme benar kan? Ingat ada buktinya lho...

Oke...kita telah mengetahui bagaimana cara orang mencari kebenaran, yaitu dengan rasional dan empirisme (paling tidak), keduanya mempunyai kelemahan, kemudian timbul ide menggabungkan keduanya yaitu rasional-empirisme, paham ini merupakan dasar filosofis dari sesuatu (pengetahuan) dikatakan benar secara ilmiah atau tidak, yang kemudian dalam pengimplementasianya berkembang metode ilmiah (baca artikel saya yang lain mengenai mengurai kebenaran temuan penelitian tindakan kelas) Jadi sesuatu dikatakan benar secara ilmiah jika secara ontologi memenuhi dua hal tersebut rasional empirik, secara epistomologi dicari dengan metode ilmiah, di luar itu dikatakan tidak ilmiah (bukan saya yang mengatakan lho...dasar filosofisnya memang begitu...). Jadi kebenaran ilmiah itu semakin sempit saja cakupan benarnya bukan?, sudah terbatas pada yang rasional-rasional saja, kemudian ditambah dengan terbatas pada yang empirik-empirik saja. Jadi.. Surga, Neraka, Hari Akhir, Malaikat, Setan, Jin seperti yang dikatakan oleh Alquran jelas tidak ilmiah, karena tidak bisa dibuktikan secara rasional-empirik, tetapi apa hal itu tidak benar? BENAR seratus PERSEN benar, tetapi jelas bukan benarnya ilmiah bukan?...lalu benarnya siapa? Jelas benarnya agama, yakin...yakin...yakin...yakini saja...tidak peduli ilmiah atau tidak ilmiah. Mengutip kalimat Prof Jujun dan Prof. Tafsir ”metode sains (ilmu) tidak dirancang untuk mencari kebenaran di luar rasional dan empirik”. Jadi kesimpulannya kita harus hati-hati ketika mencoba mengilmiahkan ayat-ayat suci. Ayat-ayat suci (menurut saya) tetap benar tanpa harus diilmiahkan sekalipun.

Hanya Allah Yang Maha Tahu


Komentar sampean-sampean saya tunggu....


Surakarta, Jum’at 13-06-2008

Kamis, 12 Juni 2008

Tutorial Membuat Proposal PTK

TUTORIAL MEMBUAT PROPOSAL PTK (PENELITIAN TINDAKAN KELAS)

UNTUK ORANG LUGU


Oleh:
Baskoro Adi Prayitno



PENGANTAR

Tulisan ini berangkat dari keprihatinan saya selama menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi di NTB, di Malang dan sekarang di Surakarta, sebagian besar mahasiswa datang kepada saya, mereka mengeluh tidak mempunyai judul penelitian yang dapat diangkat sebagai skripsi. Permasalahan tersebut rupanya tidak hanya dimonopoli oleh para mahasiswa saja. Saya pernah beberapa kali terlibat dalam kegiatan pemberdayaan kemampuan meneliti guru dibeberapa tempat, agaknya permasalahan serupa juga di alami oleh sebagian besar guru (saya tidak mengatakan semua guru lho.. J)

Saya tidak tahu darimana muaranya miskonsepsi ”meneliti itu harus berangkat dari sebuah judul”, saya yakin tidak ada satu pun dosen metodologi penelitian pendidikan yang mengatakan hal tersebut (kecuali yang mengatakan... J). Saya menduga akar masalah munculnya miskonsepsi ini salah satunya disebabkan oleh cara ngajar dosen matakuliah metodologi penelitian pendidikan yang cenderung teoritis, namun miskin praktek. Akibatnya ketika dosen meminta mahasiswa membuat proposal penelitian sebagai tugas akhir, banyak mahasiswa mengambil ’jalan pintas’ mencontek skripsi kakak tingkatnya diperpustakaan.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengajak saudara belajar bersama saya bagaimana membuat proposal penelitian tindakan kelas sekaligus mengimplementasikannya di dalam kelas, selain itu, kita juga akan belajar bagaimana membuat laporan dan artikel hasil penelitian tindakan kelas. Mengingat tulisan ini hanya berupa panduan praktis bagaimana membuat proposal, laporan dan artikel hasil penelitian tindakan kelas, idealnya Saudara harus tahu ”apa dan bagaimana penelitian tindakan kelas”. Bagi saudara yang belum tahu bagaimana teori metodologi penelitian tindakan kelas, dalam blog ini juga telah saya postingkan (saya juga telah mempostingkan kritik terhadap temuan penelitian tindakan kelas) saudara dapat membaca dan menggunakannya secara gratis.

Oke...mari kita mulai, saya asumsikan saudara sudah memahami apa dan bagaimana metodologi penelitian tindakan kelas. Dalam tutorial kita kali ini kita akan belajar materi sebagai berikut: (1) Bagaimana membuat proposal penelitian tindakan kelas, (2) Bagaimana mengimplementasikan di dalam kelas, (3) Bagaimana membuat laporan penelitiannya, (4) Bagaimana membuat artikel hasil penelitian PTK, (5) Bagaimana mempublikasikan artikel hasil penelitian PTK.

Mengingat banyaknya materi tutorial kita, sangat dimungkinkan tidak semua materi dapat saya postingkan sekaligus. Namun saya berusaha menyelesaikan topik-pertopik, untuk yang pertama, saya fokuskan kepada bimbingan praktis membuat proposal penelitian tindakan kelas. Pada kesempatan selanjutnya bagaimana pengimplementasiannya, bagaimana mengembangkan instrumennya dan seterusnya.

APA YANG HARUS SAUDARA PERSIAPKAN SEBELUM MASUK TUTORIAL?

Tulisan ini sengaja disusun agar saudara ikut aktif di dalamnya, dalam arti saudara tidak hanya sekedar membaca tulisan saya tok.., saudara juga diharapkan mengerjakan semua tugas yang saya minta dalam tutorial ini. Oleh sebab itu sebelum saya mulai, saudara saya sarankan mempersiapkan hal-hal sebagai berikut, (1) Alat tulis (ballpoint, pensil, penghapus dan kertas kosong), (2) Laptop juga boleh, (3) Kopi panas, pisang goreng, satu bungkus rokok, dan apa sajalah yang menurut saudara dapat membangkitkan ’ide’ (ha...ha.. JJ.), (3) Obat sakit kepala...,obat sakit perut...juga diperlukan, biasanya kalau sudah stress, kita bisa pusing dan perut mulas....(ha...ha... JJ)

Jika semua peralatan sudah saudara siapkan, saya siap memulai tutorial kita yang pertama yaitu ”Bagaimana Membuat Proposal Penelitian Tindakan Kelas’

MARI KITA MULAI PELAJARAN KITA....!!!

I. MEMBUAT PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Silahkan saudara berdoa terlebih dahulu sebelum saya mulai... ”berdoa mulai...”, ”selesai....” (ha...ha...). Okey...sekarang kita mulai dari persyaratan dasar yang harus kita penuhi sebelum dapat mengembangkan proposal penelitian tindakan kelas...(menurut saudara apa?.., ikutan mikir dong...? ha...ha...) jika saudara menjawab persyaratan dasar tersebut adalah judul penelitian, maka saudara termasuk golongan kaum-kaum yang sesat dan menyesatkan (ha...ha...maksud saya saudara termasuk sekelompok orang yang mengalami miskonsepsi, seperti telah saya sebutkan sebelumnya, silahkan marah kalau mau marah...ha..ha...). Saya memang akan menyalahkan saudara, jika menjawab pertanyaan saya tersebut dengan jawaban ’judul penelitian’. Mengapa saya menyalahkan saudara?, alasan pertama miskonsepsi ini telah ‘membelengu’ otak banyak orang, sehingga banyak orang berkata “saya tidak mempunyai judul penelitian untuk diteliti” akibatnya banyak orang malas melakukan penelitian, banyak mahasiswa abadi berkeliaran dikampus-kampus (ha..ha..pengalaman pribadi..) alasan kedua, suka-suka saya, jika saudara setuju belajar lewat tutorial ini maka saya adalah guru saudara, dan guru dimanapun tidak pernah salah (ha...ha...hanya berjanda, saya juga baru belajar...sumpah...)

Jawaban yang saya harapkan dari sauadara atas pertanyaan tersebut adalah “permasalahan bukan judul”, kalau kita meneliti berangkat dari sebuah masalah niscaya tidak ada lagi mahasiswa datang kepada dosennya ‘pak saya tidak punya judul penelitian, bagi dong...”. Oke... sekarang kita mulai dari topik bahasan kita tentang permasalahan

BAGAIMANA MENGIDENTIFIKASI PERMASALAHAN DALAM PTK?

PTK bertujuan memperbaiki (improvment) masalah praktis dalam pembelajaran, bukan untuk mendapatkan kebenaran yang dapat digeneralisasikan ke sebuah populasi (sudah baca belum teori tentang PTK, pasti belum...ha...ha...). Oleh karena itu dalam menentukan permasalahan dalam PTK harus diawali dari identifikasi permasalahan riil pembelajaran di dalam kelas, bukan berangkat dari kajian teoritis akademis seperti halnya penelitian formal. Permasalahan pembelajaran riil di dalam kelas yang dimaksud di atas dapat berkaitan dengan, pengeloaan kelas, strategi mengajar guru, penggunaan sumber belajar, dan lain-lain

Oke...singkatnya saudara sebelum dapat mengembangkan proposal atau melakukan penelitian tindakan kelas, tugas utama saudara adalah mengidentifikasi semua permasalahan-permasalahan riil pembelajaran yang dialami siswa di dalam kelas saudara. (saya beri contoh bagaimana identifikasi permasalahan pembelajaran riil di dalam kelas saya) misalkan, setelah saya mengajar satu semester saya merasakan siswa saya, (1) Siswa kurang aktif di kelas, siswa pasif dalam kegiatan pembelajaran, siswaterlihat tidak berminat pada pelajaran, (2) nilai siswa selalu rendah, ketrampilan berkomunikasi kurang, dst , (3) tidak adanya media belajar, buku siswa kurang, dst. (yang saya lakukan ini namanya identifikasi permasalahan riil pembelajaran di dalam kelas saya)

TUGAS....!!!!

TUGAS SAUDARA SEKARANG ADALAH MENGIDENTIFIKASI PERMASALAHAN RIIL PEMBELAJARAN DI KELAS SAUDARA...!!!, SEPERTI YANG TELAH SAYA CONTOHKAN DI ATAS (AYO CEPAT LAKUKAN....HA...HA...). TULIS SAJA...APA YANG SAUDARA RASAKAN NANTI BARU KITA PERIKSA...!!!

Oke... kalau sudah..., saat ini saudara seharusnya mempunyai daftar list permasalahan pembelajaran di dalam kelas saudara, saya yakin jumlahnya sangat banyak. oke... dari semua masalah yang saudara identifikasi tidak semua dapat diangkat jadi penelitian tindakan kelas, kita harus memilihnya berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang akan saya uraikan di bawah ini. (jadi bila saudara menuliskan salah satu permasalahan pembelajaran adalah gaji guru yang kecil...penelitian tindakan kelas tidak dapat menyelesaikannya, lupakan saja... ha...ha... cucian deh loe...)

MENETAPKAN MASALAH DALAM PTK

Oke...saya asumsikan saudara telah mempunyai list permasalahan riil pembelajaran di dalam kelas saudara. Tugas kita selanjutnya adalah menyeleksi masalah. Tenang saja...tidak perlu panik ada acuan yang dapat kita pakai, kapan masalah tersebut layak diangkat sebagai masalah penelitian atau tidak, yaitu, (1) masalah merupakan masalah yang paling mendesak untuk dipecahkan, apa indikator mendesak?, jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani akan mengakibatkan permasalahan yang lebih luas, prosentasi jumlah siswa yang mengalami masalah sangat banyak, (2) ada datanya tidak?, (3) dananya cukup tidak?, (4) waktunya cukup tidak?, (5) dan lain-lain (ha...ha...ha...)

Oke...sekarang saya berikan contoh (masih menggunakan contoh sebelumnya), setelah mempertimbangkan berdasarkan acuan untuk menyeleksi masalah di atas, maka diputuskan permasalahan yang segera saya tangani adalah meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berkomunikasi dengan pertimbangan bla....bla...bla....(bla..bla.. ini alasan saya memilih hasil belajar dan berkomunikasi, dukung dengan data/fakta riil akan lebih bagus)

TUGAS....!!!!

TUGAS SAUDARA SEKARANG ADALAH MENETAPKAN PERMASALAHAN PENELITIAN SEPERTI YANG TELAH SAYA CONTOHKAN SEBELUMNYA, LENGKAPI DENGAN ALASAN YANG MENDASARINYA (ALASANNYA JANGAN DI ISI BLA...BLA...BLA...LHO YA...SAYA TADI SEKEDAR CONTOH HA...HA...).

Oke...bagaimana?, mudah bukan?. Sekarang seharusnya saudara sudah mempunyai permasalahan yang telah fix untuk diangkat dalam penelitian tindakan kelas. Coba sebutkan sekali lagi masalah penelitian yang saudara angkat?...lebih keras? saya tidak dengar?...oke bagus...!!!

Sekarang kita lanjutkan pada langkah selanjutnya, saudara sekarang telah mempunyai permasalahan yang akan diangkat dalam PTK, langkah kita selanjutnya adalah mencarikan ‘resep obat’ yang tepat untuk mengobati masalah tersebut, kegiatan ini saya sebut dengan kegiatan analisis akar masalah

MENGANALISIS AKAR MASALAH

Berdasar permasalahan yang saudara pilih tadi, coba sekarang kita renungkan mengapa muncul permasalahan tersebut?. Oke... saya berikan contoh (masih dengan contoh yang sama dengan diatas) mengapa siswa saya hasil belajarnya rendah, mengapa siswa saya setiap kali diajak diskusi suasana kelas menjadi seperti “kuburan”?, dan lain-lain, hasil perenungan saya menemukan bahwa strategi guru yang kurang tepat, pertanyaan selanjutnya mengapa strategi guru kurang tepat? misalkan, selama ini guru hanya menggunakan stretegi yang bernuansa teacher centre guru berperan sebagai penyampai informasi satu arah, murid diperlakukan seperti botol koson yang di isi air, sehingga murid kurang diberdayakan. Bila saya tahu bahwa akar masalahnya hal ini tentunya saya harus mencari alternatif strategi pembelajaran lain yang lebih memberdayakan siswa, siswa ditempatkan sebagai pebelajar (student centre), strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa terlibat aktif dalam setiap KBM dan mampu mengasah ketrampilan berkomunikasi, misalnya kooperatif dan lain-lain. Akhirnya saya memilih kooperatif sebagai obat untuk memecahkan masalah yang saya pilih (rendahnya hasil belajar dan ketrampilan berkomunikasi), kenapa kok harus kooperatif dari sekian banyak alternatif yang ada? saya harus memberikan pembenaran (alasan) untuk hal ini. Pembelajaran kooperatif yang saya pilih untuk memecahkan masalah ini biasa disebut dengan alternatif tindakan, saya pribadi lebih suka menyebutnya ‘obat’

TUGAS...!!!!!

SAUDARA SEKARANG DIMINTA MELAKUKAN ANALISIS AKAR MASALAH SAMPAI MENDAPATKAN OBAT (ALTERNATIF TINDAAN) YANG PALING TEPAT JANGAN LUPA LENGKAPI DENGAN ALASAN PEMILIHAN OBAT (ALTERNATIF TINDAKAN)

Oke...bagaimana?, masih belum perlu minum obat sakit kepala bukan? (ha...ha... hanya bercanda...), jika saudara mengerjakan setiap yang apa saya tugaskan, saat ini saudara idealnya telah mempunyai masalah penelitian dan alternatif tindakan (obat) untuk mengobati masalah penelitian. Silahkan cek.. saat ini, saya mempunyai masalah penelitian berupa meningkatkan hasil belajar siswa dan ketrampilan berkomunikasi, saya mempunyai alternatif tindakan (obat) pembelajaran kooperatif. Bagaimana dengan saudara?....Oke langkah selanjutnya kita akan memformulasikan keduanya dalam formulasi judul penelitian tindakan kelas yang benar. Mari kita periksa pada uraian di bawah ini:

MERUMUSKAN JUDUL PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Permasalahan yang sering dihadapi oleh peneliti lugu (peneliti pemula) adalah kesulitan mencari judul penelitian, permasalahan ini sesungguhnya terasa sangat menggelikan, karena permasalahan yang perlu dipecahkan sangat banyak. Permasalahan ini muncul dari mitos memandang sebuah penelitian berawal dari sebuah judul, sebenarnya penelitian selalu berawal dari sebuah masalah (jangan tersinggung lho pak...bu...ha...ha...)

Dalam penelitian formal judul yang baik harus menggambarkan hubungan antar variabel (variabel bebas dan terikat) serta lokasi atau tempat penelitian. Dalam penelitian tindakan kelas hal ini masih tetap berlaku. Judul penelitian tindakan kelas harus menggambarkan variabel masalah dan variabel tindakannya. Berikut ini panduan praktis dalam merumuskan judul penelitian tindakan kelas; (1) tentukan permasalahan yang ingin diperbaiki/ditingkatkan, (2) tentukan alternatif tindakan yang diambil, (3) tentukan lokasi penelitian, kalau perlu pokok bahasan yang di aplikasikan dalam penelitian

Oke...sekarang saya akan memberikan contoh (masih berdasar contoh sebelumnya), permasalahan saya siswa perlu ditingkatkan hasil belajar dan ketrampilan berkomunikasi, alternatif tindakan (obat) yang saya pilih kooperatif learning, mata pelajaran yang saya ampu misalkan IPA, lokasi penelitian dan kelas saya adalah siswa kelas II SMP Taman Surga. Dari tiga formasi ini saya dapat memformulasikan judul sebagai berikut

meningkatkan hasil belajar dan ketrampilan berkomunikasi pada siswa kelas II SMP Taman Surga pada matapelajaran IPA dengan menggunakan kooperatif learning.

Oke...bagaimana mudah bukan?


TUGAS....!!!!

SAUDARA DIMINTA MEMFORMULASIKAN PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF TINDAKAN YANG SUDAH DITETAPKAN DALAM BENTUK JUDUL PENELITIAN TINDAKAN KELAS.

Jika saudara mengikuti semua tugas yang saya berikan, saat ini saudara saya jamin sudah mempunyai judul penelitian tindakan kelas yang baik. Tugas kita selanjutnya adalah bagaimana memformulasikan semua tahap-tahapan dalam kaidah penelitian tindakan kelas. Tenang saja tidak sulit kok...(ha...ha...)

MEMFORMULASIKAN RUMUSAN MASALAH DALAM PTK

Dalam memformulasikan rumusan masalah PTK, tidak usah repot-repot ikuti saja aturan berikut dijamin tidak ada yang menyalahkan, aturan tersebut adalah: (1) masalah apa yang terjadi di kelas, (2) bagaimana upaya mengatasinya, (3) apa tindakan yang dianggap paling tepat untuk mengatasi permasalahan, (4) di kelas dan sekolah mana masalah itu muncul

Oke...saya beri contoh “apakah penerapan kooperatif learning pada proses pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar dan ketrampilan berkomunikasi siswa kelas II SMP Taman Surga pada mata pelajaran IPA?

TUGAS....!!!

BUAT RUMUSAN MASALAH SEPERTI YANG TELAH SAYA CONTOHKAN

Oke...bagaimana mudah bukan?..., sekarang kita akan belajar bagaimana mengembangkan Latar Belakang dalam Penelitian Tindakan Kelas.

MENGEMBANGKAN LATAR BELAKANG PENELITIAN PTK

Sebenarnya secara tidak sadar saudara telah melakukan kegiatan pengembangan latar belakang penelitian, yaitu pada saat mengikuti instruksi saya mulai dari identifikasi masalah, analisis akar masalah, sampai dengan menetapkan alternatif tindakan, artinya saudara tinggal menceritakan kembali langkah-langkah tersebut. Jadi saudara harus berbahagia latar belakang penelitian saudara sudah selesai tinggal menambahkan aksesoris-aksesoris.. (selamat ya...., selamat.....)

Jadi dalam mengembangkan latar belakang masalah penelitian PTK, mulailah dari cerita tentang permasalahan riil pembelajaran di dalam kelas (jangan lupa lengkapi dengan data/fakta-fakta/bukti-bukti riil di lapangan). Setelah itu ikuti dengan penjelasan analisis akar masalah, kemudian dilanjutkan dengan cerita bagaimana sampai ditemukan alternatif tindakan, eit...jangan lupa ceritakan pula alasan yang mendasari pemilihan alternatif tindakan (obat) yang kita pilih. (itu saja sudah cukup untuk dikatakan sebagai latar belakang yang baik) Oke... bagaimana mudah bukan...(tidak perlu lagi search di mbah google mencari contoh proposal penelitian tindakan kelas lagi khan...ha....ha....ha...ha...silahkan marah kalau mau marah...)

TUGAS....!!!

BUAT LATAR BELAKANG PENELITIAN SAUDARA

Bagaimana sudah berhasil mengembangkan latar belakang penelitian saudara?, oke...langkah selanjutnya kita akan belajar bagaimana membuat definisi operasional.

MENETAPKAN DEFINISI OPERASIONAL

Dalam banyak kasus, penelitian seringkali tidak dapat memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Keadaan seperti ini mungkin terjadi karena akibat ketidakjelasan langkah-langkah operasional penelitiannya. Peneliti bahkan seringkali dihadapkan dengan variabel-variabel yang belum siap untuk dimanifestasikan. Oleh karena itu, agar operasional penelitian menjadi lebih jelas, peneliti perlu menuliskan rumusan definisi dari variabel-variabel dan kondisi penelitian secara operasional. Definisi operasional harus dapat menggambarkan bagaimana dan dengan cara apa suatu variabel akan disajikan atau akan diukur. Beberapa variabel dapat diukur dengan berbagai cara. Penggunaan cara yang kurang tepat dapat menyebabkan adanya kontradiksi pada hasil penelitian. Kondisi atau karakteristik penelitian seringkali juga harus didefinisikan secara operasional, sehingga dengan jelas dapat menggambarkan apa, dimana dan bagaimana penelitian dilaksanakan (eh...kok jadi serius nih...ha....ha...). Saya kasih contoh ya...

Ketrampilan Berpikir Kritis, adalah kemampuan berpikir dalam ranah kognitif Bloom di atas kemampuan berpikir ranah ingatan, pemahaman, dan penerapan. Kemampuan berpikir kritis ini meliputi kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi. Indikator kemampuan ranah analisis yaitu membedakan, mendiagramkan, mengidentifikasikan, dan memilih. Indikator kemampuan ranah sintesis yaitu menyusun, menjelaskan, memodifikasi, dan menyimpulkan. Indikator ranah evaluasi yaitu menilai, mengambil kesimpulan, mempertentangkan, mengkritik, menafsirkan, dan memutuskan. Pengukuran ketrampilan berpikir kritis ini dengan menggunakan tes kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi yang dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan indikator pada ranah analisis, sintesis dan evaluasi yang telah disebutkan di atas

TUGAS....!!!

BUAT DEFINISI OPERASIONAL MASING-MASING VARIABEL SAUDARA

Oke...kalau sudah kita akan belajar bagaimana mengembangkan kajian pustaka, untuk sementara saya harap saudara sudah dapat membuat out line kajian pustaka yang nantinya wajib saudara lengkapi sendiri....bagaimana?

MENGEMBANGKAN KAJIAN PUSTAKA

Sebelum saya menerangkan tentang kajian pustaka saya ingi bertanya pada saudara ‘untuk apa sih kita repot-repot bikin kajian pustaka?, “kayak tidak ada kerjaan lain?”. Ada yang bisa jawan tidak?....okey saya jawab, kita membuat kajian pustaka untuk memberikan pembenaran rasional hipotesis kita, jadi kalau tujuan kajian pustaka untuk memberikan pembenaran rasional hipotesis kita apa yang harus ada dalam kajian pustaka kita?, tepat...yaitu, teori-teori yang mendukung hipotesis kita, hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian kita, dan satu lagi jangan lupa teori-teori tadi harus diramu sedemikian rupa sehingga dapat mendukung hipotesis kita, setelah itu buat kerangka pikirnya.

TUGAS....!!!

BUAT OUTLINE KAJIAN PUSTAKA MULAI DARI SEKARANG.....

Bagaimana sudah selesai, tugas PR saudara adalah melengkapi outline yang sudah saudara buat tadi... Oke sekarang akan kita lanjutkan dengan bagaimana memformulasikan hipotesis dalam PTK

MEMFORMULASIKAN HIPOTESIS DALAM PTK

Setelah masalah dirumuskan secara operasional, bila perlu dapat dirumuskan hipotesis tindakan. Hipotesis tindakan adalah dugaan mengenai perubahan yang mungkin terjadi jika suatu tindakan dilakukan. Bentuk umum rumusan hipotesis tindakan berbeda dengan hipotesis dalam penelitian formal. Hipotesis tindakan umumnya dirumuskan dalam bentuk keyakinan bahwa tindakan yang diambil akan dapat memperbaiki proses, atau hasil. Hipotesis tindakan merupakan alternatif tindakan yang dipandang paling tepat untuk dilakukan dalam rangka memecahkan masalah yang diteliti. Secara teknis hipotesis tindakan pada dasarnya menyatakan: ”Jika dilakukan suatu tindakan tertentu, peneliti percaya bahwa tindakan tersebut akan mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi”

Contoh: Pembelajaran menulis berpendekatan proses akan berdampak positif terhadap kualitas tulisan mahasiswa.

TUGAS...

BUAT HIPOTESIS TINDAKAN SESUAI DENGAN PENELITIAN SAUDARA...MULAI DARI SEKARANG.....

Sekarang saudara saya asumsikan telah dapat membuat hipotesis tindakan dengan baik, sekarang kita akan membahas tentang metodologi penelitian tindakan kelas (mengembangkan desain PTK)

MENGEMBANGKAN DESAIN PTK

Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan Penelitian Tindakan Kelas kita perlu mengetahui ciri-ciri atau karakteristiknya. Adapun karakteristik yang bersifat umum antara lain sebagai berikut, (1) Berangkat dari permasalahan faktual yang timbul dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari yang dihadapi guru, (2) Adanya tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki proses belajar mengajar di kelas tersebut, (3) Adanya proses pelaksanaan penelitian sebagai suatu rangkaian siklus yang berkelanjutan (Ebbut, 1985). Di dalam dan di antara siklus-siklus itu ada informasi yang merupakan balikan dari apa yang telah dilakukan oleh peneliti. Proses tersebut merupakan suatu proses yang dinamis di mana ada empat tahap yaitu a) perencanaan tindakan, b) pelaksanaan atau implementasi tindakan, c) observasi dan interpretasi, dilanjutkan dengan analisis dan evaluasi, d) refleksi.


Perencanaan Tindakan (Plan)

Perencanaan tindakan hendaknya memanfaatkan secara optimal teori-teori yang relevan dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh di masa lalu dalam kegiatan pembelajaran/penelitian sebidang. Sebelum pelaksanaan tindakan, beberapa hal perlu direncanakan secara baik, antara lain sebagai berikut: (1) Menentukan Keberhasilan Tindakan, Pengukuran keberhasilan tindakan sedapat mungkin telah dirancang caranya sejak awal penelitian, demikian pula kriteria keberhasilan tindakannya. Keberhasilan tindakan ini disebut sebagai indikator keberhasilan tindakan. Indikator keberhasilan tindakan biasanya ditetapkan berdasarkan suatu ukuran standar yang berlaku. Misalnya: pencapaian penguasaan kompetensi sebesar 75% ditetapkan sebagai ambang batas ketuntasan belajar (pada saat dilaksanakan tes awal, nilai peserta didik berkisar pada angka 50), maka pencapaian hasil yang belum sampai 75% diartikan masih perlu dilakukan tindakan lagi (ada siklus berikutnya), (2) Membuat skenario pembelajaran yang berisikan langkah-langkah kegiatan dalam pembelajaran di samping bentuk-bentuk kegiatan yang akan dilakukan., (3) Mempersiapkan sarana pembelajaran yang mendukung terlaksananya tindakan. Sarana pembelajaran ini dapat berupa misalnya media pembelajaran, petunjuk praktikum, Lembar Kerja Siswa, (4) Mempersiapkan instrumen penelitian, misalnya format obsevasi untuk mengamati kegiatan (proses) belajar-mengajar, dan instrumen asesmen untuk mengukur hasil belajar, (5) Melakukan simulasi pelaksanaan tindakan dan menguji keterlaksanaannya di lapangan.

Hendaknya peran dari setiap anggota peneliti dideskripsikan dengan jelas agar mereka berperan secara optimal. Kemungkinan dalam PTK dapat dilibatkan, (1) Kepala Sekolah dapat berperan untuk membuat prakarsa PTK, mensosialisasikan kegiatan PTK, menciptakan iklim agar PTK dapat diterima oleh semua guru dan mengelola situasi sekolah. Kepala sekolah dapat juga berperan sebagai observer kegiatan guru, (2) Guru. Hendaknya peran guru tidak hanya sebagai pengajar atau pengampu mata pelajaran untuk melaksanakan rancangan pembelajaran yang disusun guru dari, tetapi sebagai peneliti aktif yang harus sudah terlibat sejak awal, dalam pengidentifikasian masalah, penyusunan rancangan tindakan dan dalam implementasi, observasi, monitoring, serta analisis, refleksi, dan evaluasi hasil tindakan yang diterapkan, (3) Guru lain. Guru di dalam implementasi bilamana perlu mengambil inisiatif bekerja sama guru lain dalam mengajar dengan memberi contoh konkrit di kelas. Guru lain benar-benar sebagai mitra dalam pelaksanaan PTK. Guru termasuk anggota tim, tidak bersifat pasif tatkala melaksanakan pembelajaran yang telah diskenariokan dan berperan sebagai fasilitator dan observer PTK juga, (4) Siswa. dalam skenario, hendaknya siswa dilibatkan secara aktif jangan hanya dipandang sebagai objek yang dikenai tindakan. Sebagai objek-subjek dalam proses PBM, mereka dapat pula menjadi sumber masukan untuk memperoleh data dan atau informasi tentang pembelajaran yang dilaksanakan di kelasnya. Oleh karena itu siswa sebaiknya dilatih untuk melakukan penilaian diri atau semuanya (self-assessment dan peer assessment).

Pelaksanaan Tindakan

Jika perencanaan telah selesai dilakukan, maka skenario tindakan dapat dilaksanakan dalam situasi pembelajaran yang aktual. Tindakan dilaksanakan sejalan dengan laju perkembangan pelaksanaan pembelajaran, dan tidak boleh mengganggu atau menghambat kegiatan perkuliahan. Kegiatan pelaksanaan tindakan perbaikan merupakan tindakan pokok dalam siklus penelitian tindakan. Untuk menjamin keberlangsungan dan mutu kegiatan perkuliahan, bila perlu guru atau tim peneliti dapat memodifikasi tindakan walaupun implementasi tindakan sedang dalam proses. Hal ini sesuai dengan sifat lentur rancangan PTK. Namun bila situasi tidak mendesak, perubahan bentuk tindakan dapat ditunda sampai suatu putaran (siklus) terselesaikan.

Observasi, Evaluasi, dan Interpretasi.

Observasi.

Pada saat pelaksanaan tindakan, kegiatan observasi dilakukan secara bersamaan. Secara umum, kegiatan observasi dilakukan untuk merekam proses yang terjadi selama pembelajaran berlangsung. Mengingat kegiatan observasi menyatu dalam pelaksanaan tindakan, maka perlu dikembangkan sistem dan prosedur observasi yang mudah dan cepat dilakukan. Tim peneliti dapat menggunakan berbagai macam cara dan alat untuk merekam perilaku mahasiswa secara menyeluruh dan akurat dalam proses pembelajaran. Pengembangan instrumen yang perlu dilakukan untuk mengamati pelaksanaan tindakan dalam pembelajaran yang diberikan dalam naskah tersendiri.

Observasi akan memiliki manfaat apabila dilanjutkan dengan diskusi sebagai balikan. Balikan ini sangat diperlukan untuk dapat memperbaiki proses penyelenggaraan tindakan. Data yang dikumpulkan dapat berupa data kualitatif maupun data kuantitatif walaupun PTK lebih cenderung mengikuti paradigma penelitian kualitatif sehingga jenis datanyapun didominasi data kualitatif.

Analisis Data

Analisis data kuantitatif dapat berupa penyusunan kumpulan data berupa tabel atau grafik, atau hasil perhitungan rerata. Analisis data kualitatif dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: reduksi data, paparan data, dan penyimpulan hasil analisis.

Reduksi data adalah proses penyederhanaan data yang dilakukan melalui seleksi, pengelompokan, dan pengorganisasian data mentah menjadi sebuah informasi bermakna. Data dan/atau informasi yang relevan ini sebaiknya terkait langsung dengan pelaksanaan PTK yang akan diolah untuk bahan evaluasi.

Pemaparan data merupakan suatu upaya menampilkan data secara jelas dan mudah dipahami dalam bentuk paparan naratif, tabel, grafik, atau perwujudan lainnya yang dapat memberikan gambaran jelas tentang proses dan hasil tindakan yang dilakukan. Penyimpulan hasil analisis merupakan pengambilan inti dari sajian data yang telah terorganisasikan dalam bentuk pernyataan atau kalimat singkat, padat dan bermakna.

Evaluasi

Hasil analisis tersebut digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil yang dicapai. Tim peneliti dapat mempergunakan kriteria keefektifan atau keberhasilan pencapaian pada setiap siklus. Indikator keterlaksanaan tindakan (proses) dapat disajikan dalam bentuk kriteria yang berwujud telah dilaksanakannya aspek-aspek tindakan yang harus dilakukan guru dan mahasiswa. Hal ini dapat berwujud kuantitatif dan/atau kualitatif misalnya secara kuantitatif frekuensi pelaksanaannya dan secara kualitatif sudah dilaksanakan atau belum.

Indikator keberhasilan tindakan dapat disajikan dalam bentuk kriteria yang berwujud kuantitatif dan/atau kualitatif, misalnya secara kuantitatif untuk pencapaian penguasaan kosa kata dapat diukur dengan jumlah kosa kata, persentase siswa yang berhasil mencapai nilai 7, atau berwujud kualitatif untuk perubahan perilaku guru, perilaku siswa, perubahan iklim belajar dan lain sebagainya yang dapat digambarkan secara kualitatif.

Indikator keberhasilan tindakan untuk siklus I umumnya kriterianya ditetapkan berdasarkan hasil refleksi awal dan perkiraan kemungkinan peningkatan yang dapat dilakukan setelah dilakukan tindakan tertentu. Indikator keberhasilan tindakan untuk siklus berikutnya kriterianya ditetapkan berdasarkan hasil refleksi siklus sebelumnya.

Dengan melihat proses dan hasil analisis tersebut dan dicocokkan dengan kriteria keberhasilan, akan diperoleh data hasil evaluasi, apakah pelaksanaan PTK pada suatu siklus sudah memuaskan atau belum. Hasil evaluasi ini akan menjadi bahan untuk melakukan refleksi.

Refleksi

Pada dasarnya refleksi merupakan kegiatan analisis-sintesis, interpretasi, dan eksplanasi (penjelasan) terhadap semua informasi yang diperoleh dari pelaksanaan tindakan. Informasi yang terkumpul perlu diurai, dicari kaitan antara yang satu dengan yang lainnya, dibandingkan dengan pengalaman sebelumnya, dikaitkan dengan teori tertentu, dan atau hasil penelitian yang relevan. Melalui proses refleksi yang mendalam dapat ditarik kesimpulan yang mantap dan tajam. Refleksi merupakan bagian yang amat penting untuk memahami dan memberikan makna terhadap proses dan hasil (perubahan) yang terjadi sebagai akibat adanya tindakan (intervensi) yang dilakukan. Hasil refleksi digunakan untuk menetapkan langkah selanjutnya dalam upaya untuk menghasilkan perbaikan.

Komponen-komponen refleksi dapat digambarkan sebagai berikut.

ANALISIS ® PEMAKNAAN ® PENJELASAN ® PENYIMPULAN ® TINDAK LANJUT

Perencanaan Tindak Lanjut

Bila hasil perbaikan yang diharapkan belum tercapai pada siklus I, maka diperlukan langkah lanjutan pada siklus II. Dalam siklus berikutnya kegiatan merupakan kesatuan dari kegiatan perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan interpretasi, analisis dan evaluasi, serta refleksi. Banyaknya siklus tidak dapat ditetapkan, tergantung pada kebutuhan dan ketuntasan pemecahan masalah. Kriteria keberhasilan PTK dapat ditetapkan, misalnya dengan menggunakan prinsip belajar tuntas, misalnya 75%. Apabila tingkat perbaikan yang diharapkan tercapai minimal 75%, maka pencapaian itu dapat dikatakan sudah memenuhi kriteria.

Jika dikaitkan dengan penjadwalan kegiatan belajar, satu siklus diharapkan terdiri dari beberapa pertemuan (sedapat mungkin lebih dari satu pertemuan). Hal ini perlu diperhatikan benar karena dampak suatu tindakan mungkin belum tampak di dalam satu atau dua pertemuan saja..


OKE…PELAJARAN PRAKTIS KITA MEMBUAT PROPOSAL PTK SELESAI…DI LAIN WAKTU KITA AKAN BELAJAR MENGEMBANGKAN INSTRUMEN PTK DAN IMPLEMENTASI DI LAPANGAN…

SELAMAT BERLATIH.....

JANGAN LUPA MEMBACA ARTIKEL SAYA, MENGENAI KEILMIAHAN TEMUAN PTK, TETAP DI BLOG INI...

OH...YA...MOHON DI E-MAILKAN HASIL LATIHAN SAUDARA DENGAN ALAMAT: Baskoroadiprayitno@yahoo.com, Baskoroadiprayitno@gmail.com, atau Baskoro_ap@telkom.net